Jumat, 28 Desember 2012

Aku. Kamu. Kita.

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 14.25 0 comments

Waktu yang membawa kita, waktu yang mempertemukan kita, waktu yang menumbuhkan rasa, waktu yang mempertahankan kita, dan… waktu yang dapat menyembuhkan segalanya.

“Di dalam kesunyian kau dan aku terdiam. Bersiap untuk hadapi kenyataan bahwa jalan terbaik bagi sebuah hubungan tanpa ikrar adalah berpisah… Sempat ego bicara pada pendirian kita, mencoba untuk memaksakan dan ajukan logika bahwa meskipun cinta tak harus memiliki, namun jalinan cinta tetap perlu janji. Kita hanya sepasang manusia yang salah memahami cinta…”--- Tangga.

Sebelum hari itu, hari dimana kita pertama kalinya merasakan bahwa keegoisan kita mengganggu satu sama lain, tak pernah terbesit sebelumnya bahwa ternyata kita sudah masuk ke dalam kehidupan kita masing-masing. Kau. Dan. Aku.

Kita menjalani waktu hingga sampai saat ini, dengan berbagai macam cara, dengan berbagai macam masalah, dengan berbagai macam rasa yang saling datang entah darimana. Dan kini, pertanyaan itu hadir “Dapatkah kita bertahan? Dengan keadaan seperti ini? Tanpa ikrar, tanpa ikatan?”

Hubungan jarak jauh itu tak mudah. Sekalipun mereka yang telah memiliki ikatan, berhubungan jarak jauh itu sungguh, sulit. Kita? Lebih dari sekedar jarak jauh, tanpa komunikasi seperti layaknya mereka yang dapat berkomunikasi kapanpun. Dan tentunya, tanpa ikatan sama sekali…

Tak pernah seperti ini. Tak pernah kehilangan ide dan pikiran hingga blank dan saling terdiam. Hening. Sampai kapan kita dapat bertahan dalam keadaan yang sama sekali tak memungkinkan seperti ini? Sampai kapan kita dapat mempertahankan rasa tanpa adanya sesuatu yang mengikat kita sedikitpun?

Sepi. Hening jawabnya. Tak ada suara lain selain hembusan angin yang berlalu lalang di hadapan telepon genggam malam itu. Mencoba mencari jalan untuk sebuah ‘komitmen’ yang bukan ‘komitmen’. Yah, kita memang rumit. Tak dapat dikatakan, tak dapat dijabarkan, tak dapat dirumuskan, namun mengapa Tuhan begitu masih membiarkan kita bersama sejauh ini? Jika kita tak ditakdirkan untuk bersama, sejak awal kita takkan bertahan hingga detik ini. Tuhan, adakah sesuatu yang Kau sembunyikan di balik semua ini?

Percakapan itu berjalan lama, waktu yang tak berhenti, namun jalan pemikiran yang tetap stuck. Diam. Tak ada sedikitpun jawaban yang dapat membuka pikiran. Buta.

Kita sama-sama tak bisa mengekang, tak bisa melarang, namun ketika menghadapi kenyataan masing-masing dari kita harus bersama yang lain… tak rela. Adakah jalan untuk sebuah hubungan dengan rasa tanpa ikatan dengan prinsip yang tak dapat dihancurkan, seperti… ini?

Dan, lagi-lagi waktu yang membawa kita pada sebuah jawaban manis dari percakapan panjang yang telah dilewati berjuta detik.

“Sampai kapanpun, kita tak akan bisa terikat oleh apapun.”

Namun kita dapat bertahan, dengan apa yang telah kita putuskan sebelumnya. Sebuah kejujuran, kepercayaan dan pengertian yang tak terbatas. Cukupkah?
Cukup. Untuk dapat membuat kita bertahan tanpa adanya ikatan. Mungkin bukan kita yang mengikat kita masing –masing, namun biarkan Tuhan yang mengikatnya dengan rencana yang lebih indah. Untuk kita, tentunya.

Saling percaya, bahwa sebuah ‘status’ tak berarti segalanya. Saling percaya, bahwa Tuhan mempertemukan kita bukan untuk alasan yang kosong.

Dan… saling percaya bahwa kita dapat bertahan.

“Sampai kapan? Besok mungkin. Dan kalau kamu nanya lagi dengan pertanyaan yang sama, aku bakal ngejawab dengan jawaban yang sama. Besok. Sampai aku gak punya lagi besok.”

:)

Kamis, 06 Desember 2012

Mana Mungkin Aku Setia…

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 19.07 0 comments

Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.
Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,
dan kematian adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan
bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang,
sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati,
hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,
pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada.
“Aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.”
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.
Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua,
tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta,
sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Selamat jalan, Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.
Selamat jalan sayang, cahaya mataku, penyejuk jiwaku,
Selamat jalan, calon bidadari surgaku ….
(B.J. Habibie for Ainun Habibie)

Minggu, 02 Desember 2012

Antara Aku, Kau, dan... (Part III)

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 17.00 0 comments
Semangkuk hot chocolate menemani malam dingin tanpa bulan hari ini. Handphone selalu ku genggam meskipun tak ada tanda-tanda ada kabar dari Diga. Sudah beberapa hari belakangan ini Diga tak pernah lagi tiba-tiba hadir dan mengejutkanku ketika aku meliput berita. Atau, sekedar sms pun tak ada sama sekali. Perlahan, aku mulai membenci detik-detik dimana aku selalu melihat handphone hanya untuk memastikan inbox pesan darinya. Aku lelah.

                Setelah pertemuan malam itu, pertemuan antara aku, Diga dan disusul seorang yang lain, entah mengapa Diga tak pernah lagi hadir di depan mataku. Tiba-tiba menghilang, tiba-tiba seperti tertelan bumi, dan tiba-tiba membuatku merindukannya. Merindukan tatapan tajam yang selalu membuat hatiku terusik, namun nyaman akan kehadirannya.

                Hari terus berlalu, dan Diga yang juga tak pernah lagi mengabari atau menemuiku. Sudah beberapa kali aku sengaja mencarinya ke tempat dimana ia selalu ditemui ketika tak ada lagi tempat lain untuk menikmati ketenangan, namun tetap tak ada jawabnya. Nomor handphonenya tak aktif, hingga membuatku hampir setengah putus asa mencarinya.  Mungkin aku terlalu banyak memikirkan hal yang tak seharusnya ku pikirkan, hingga sudah beberapa minggu ini aku absen dari kantor tempatku bekerja. Aku lebih banyak menghabiskan hariku di kamar, karena kondisi tubuhku yang banyak memerlukan istirahat.

                Diga. Mungkin nama itu mulai ku hapuskan, namun tak dapat ku pungkiri, ialah penyebab terbesar lemahku kini. Aku merasa mempunyai kekuatan lebih ketika ia ada di sampingku. Atau ketika hanya sekedar pesan singkat kabarnya yang membuatku merasa lebih tenang. Kini, semua telah berlalu. Kehadirannya yang selalu tiba-tiba ketika aku berada di manapun, kini tak pernah lagi ada. Inbox handphoneku tak lagi penuh oleh celotehan-celotehan tak masuk akalnya. Mungkin, inilah bagaimana cara untuk melupakan. Aku harus bangkit, tak ada pilihan lain.

                Hari ini ku putuskan untuk kembali bekerja. Dengan wajah yang tersenyum, namun dengan hati yang rapuh. Aku selalu menyembunyikan apapun sakitku kepada siapapun, tak terkecuali sahabatku sendiri. Pukul 6.55, hanya tinggal 5 menit lagi duniaku akan padat dengan berbagai pekerjaan kantor. Sesampainya di kantor, aku menghela nafas cukup panjang sebelum membuka pintu ruangan tempatku bekerja. Aku harap aku akan baik-baik saja, bagaimanapun itu.

                Ku buka pintu perlahan, dan mulai masuk ke dalamnya. Tak ada apa-apa. Persis seperti saat aku meninggalkan ruangan ini beberapa minggu lalu. Ku langkahkan kakiku menuju meja kerjaku, dan sudah terlihat tumpukan tinggi berkas-berkas tugas yang harus ku selesaikan akibat dari absenku yang cukup lama. Pikiranku belum mendapati titik terang maupun semangat untuk menyelesaikan tugas-tugas kewajibanku. Namun bagaimanapun kendalanya, aku harus tetap menyelesaikannya. Atau, aku yang akan kehilangan pekerjaan yang aku cintai ini.

                Ku coba merapikan satu persatu tumpukan kertas yang berserakan di atas meja kerjaku. Namun tiba-tiba beberapa amplop terjatuh ketika aku hendak membuka file berisikan berkas tugas baru. Lumayan banyak amplop yang terjatuh, segera ku ambil dan ku buka satu per satu.

                Seketika dingin menjalar tubuhku. Aku terhenyak ketika mendapati nama sang pengirim. Deg. Diga Niwayana.

                “Aku merindukanmu. Dimanakah kau kini?”

                Isi surat tanpa titimangsa, pembuka, maupun penutup. Hanya beberapa rangkaian kata. 2 kalimat singkat, namun cukup membuatku merasakan senang-kaget- dingin-sesak-memaku secara bersamaan. Aku terdiam cukup lama membaca surat singkat itu. Pikiranku melayang. Bukankah harusnya aku yang bertanya seperti itu?

Bersambung…

Minggu, 18 November 2012

Somewhere

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 15.55 0 comments
Ku ambil beberapa potret keadaan ketika aku duduk terdiam disini. Menunggumu. Sendiri.
Sedetik berlalu layaknya beberapa puluh jam menunggumu. Berlebihan, memang.
Tahukah kau? Begitu indahnya senja ketika kau datang dan menemuiku. Mentari hangat menyapa pertemuan kita, dalam bayang indah sore itu.

Tampak potret ini, jalan yang ku abadikan sebagai tempat dimana kita bertemu. Daun-daun yang berguguran dan bunga merah yang menghiasi jalan, hingga tampakkan kesatuan yang utuh dalam bingkai senja hangat.  Seperti kota mati dalam seribu lukisan semu, bukan?



Dimana? :)

Jumat, 16 November 2012

Iya, kan?

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 14.59 0 comments
Teras depan kelas, 14 November 2012

 “Udah aku bilang, bawa buku jangan banyak-banyak, jadi berat kan tasnya.”
“Aku gak bawa banyak kok, periksa aja kalo gak percaya.”
“Bawa buku, tapi gak nulis.”
“Nyeh, kapan aku gak nulis?”
“Tadi waktu PLH, kamu gak nulis.”
“Aku emang gak nulis. Tapi lebih parah kamu.”
“Eh? Parah apaan?”
“Kamu gak belajar. Dari tadi kamu merhatiin aku. Iya kan?”

Dia speechless, ga bisa diem, salting.
Dan gue bener-bener ketawa ngeliat tingkah bodohnya.

Rabu, 31 Oktober 2012

Antara Aku, Kau, dan... (Part II)

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 10.17 0 comments
Aku memutuskan untuk berjalan-jalan keliling alun-alun kota sore ini. Tak lupa selalu ku bawa kamera, note dan bolpoin yang ku simpan dalam ransel merah muda favoritku. Siapa tahu, ada berita baru yang dapat ku liput dan dapat ku kirimkan ke perusahaan media cetak dan elektronik tempat ku bekerja kini. Sepatu cat putih ku pakai dengan kaos biru muda dan celana jeans keabu-abuan, tak lupa ku pakai jam tangan abu untuk menambah kesan ‘santai’ di sore yang lumayan cerah ini.

Orang-orang sibuk berlalu-lalang di jam pulang kerja, dan aku sendiri yang sibuk dengan kamera dan mata yang siap-siap menangkap sunset yang sebentar lagi akan mencapai primetime nya. Ku langkahkan kaki menuju bibir jalan protokol kota dan berdiam sejenak sambil meminum orange juice yang ku bawa dari rumah tadi.

Aku menikmati kesendirian ini. Aku menikmati bagaimana cara Tuhan menempatkanku dalam keramaian, bagaimana aku ditempatkan dalam palung kesepian. Biarkan aku begini, dengan luka dalam yang pernah ku alami. Biarkan angin yang menghapusnya, bukan hati baru yang asing di hidupku.

Ku buka kembali mataku setelah bercakap cukup lama dalam hatiku. Ya, aku menyukai kesendirian seperti ini, tanpa ada seseorang yang lebih ku artikan dalam perjalanan cintaku. Tanpa ada seseorang yang membuatku dapat merasakan indahnya jatuh cinta. Atau, tanpa seseorang yang dapat membuatku jatuh sakit untuk kesekian kalinya. Aku mencintai bagaimana hari ini, karena luka yang telah terjadi di masa lampau. Lebih baik aku sendiri, meskipun sepi perlahan

Rabu, 10 Oktober 2012

Antara Aku, Kau, dan...

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 21.31 0 comments

Waktu berlalu dan semakin gelap. Kini sudah memasuki malam, dan aku masih terjebak di dalamnya. Aku tak kunjung menemukan jalan keluar, untuk berbalik arah pun sangat sulit di antara orang-orang yang sedang dibombardir oleh musik yang begitu memekakkan telinga. Sedikit demi sedikit kedua kakiku mulai kehilangan kekuatan. Aku hanya mengikuti arus gerakan mereka, sedangkan aku tak memiliki daya untuk bergerak bebas sedikit pun.

Ku lihat, langit begitu gelap. Nafasku mulai tersengal dan kehilangan kendali untuk mengaturnya. Kepalaku merasakan pusing luar biasa, namun aku tak dapat melakukan apapun. Aku begitu panik, dan tak dapat mengendalikan apapun yang sedang terjadi. Buyar, semua terasa buyar dan tak jelas lagi. Aku hanya mampu menangis karena tak dapat melakukan apapun, tak ada orang yang ku kenal sama sekali di sekelilingku. Nafasku semakin sesak, dan…  Tiba-tiba terasa olehku seseorang yang menarik tanganku. Dengan kuat, tangan itu menarik lenganku hingga dapat membawa tubuhku keluar dari kerumunan orang yang begitu banyak itu. Langkahku semakin dekat dengan pintu keluar. Mataku buram, tak dapat melihat dengan jelas siapa yang sedang berhadapan denganku kini. Wajahku masih dipenuhi dengan air mata panik, hingga seluruh tubuhku merasakan gemetar hebat tak henti.

“Kamu ngapain disini?” tanya orang itu, ketika aku sudah lumayan jauh dari keramaian. Suasana begitu gelap, hingga aku tak dapat dengan jelas melihat wajahnya. Namun sepertinya, aku mengenal suaranya yang tak asing di telingaku.
“Apa? Aku tak dapat mendengarmu.” Teriaknya dengan jelas sambil mendekatkan kepalanya ke telingaku hingga menarik kembali tangan kananku dengan lari kecil lumayan jauh, hingga akhirnya kami berdua berhenti di suatu tempat yang cukup terang dan tak terlalu bising oleh konser musik yang kini lumayan jauh dari langkah kami berdua.
“Diga?!” Refleks ku berteriak ketika melihat seseorang itu membalikkan badannya ke arahku.
“Kenapa rif?” Tanyanya lembut, sambil membungkukkan badannya tepat sepantar denganku.
“Kamu… kenapa disini? Ngapain?”
“Harusnya aku yang nanya. Kamu ngapain disini? Gak seharusnya kamu disini, sendirian pula.”
“Aku cuma ngeliput aja.”
“Ngeliput? Sendirian? Kamu perempuan Rif… gak seharusnya sendirian di tempat yang kaya gini.”
“Resiko jadi pers. Resiko jadi wartawan. Resiko jadi paparazzi.”

Suasana hening, ia tak menjawab. Ku ambil nafas panjang dan mengembuskannya keras. Air mataku mengalir lagi, masih merasa trauma dengan kejadian yang baru ku alami, hampir kehilangan kendali nafasku hanya dalam waktu beberapa detik. Namun tiba-tiba kedua tangan hangat itu menyentuh pipiku, mencoba

Minggu, 07 Oktober 2012

Tanpa Isyarat, Tanpa Ikatan

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 21.24 0 comments

Siapa yang salah? Rasanya tak ada yang salah dan tak ada yang perlu dipersalahkan.
Kau, disana. Aku, disini. Dengan kuasa Tuhan, kita bertemu.
Rasanya terlalu cepat rasa ini tumbuh dan liar di antara kita. Aku dan kamu saling merasakan, namun hanya diam dan mencoba saling menyembunyikan. Aku dan kamu saling tahu, tapi tak berkenan untuk saling memberitahu.

Kita menjalani hari-hari dengan suasana yang baru dan berbeda dari sebelum saling mengenal dan mengisi satu sama lain. Hingga suatu saat, kita berjanji dan melingkarkan kedua jari terkecil kita masing-masing. Tanpa isyarat, tanpa ikatan.
Hingga kini, kau jaga sebuah janji yang ‘katanya’ takkan kau ingkari.

Namun… sepertinya ada yang salah. Ketika seorang yang lain mulai merasuki duniamu dan melumpuhkan kedua kakimu untuk bergerak lari. Aku hanya mampu melihat, tak mampu berkata. Aku tak mampu melakukan apapun. Untukmu, tentunya.
Aku hanya dapat menggenggam jari dan tanganku sendiri tanpa membaginya pada siapa pun. Aku sepenuhnya sadar, tak dapat melakukan apapun untukmu ketika dia mulai menarikmu kembali untuk dunianya. Hak apa yang kumiliki? Tak ada, seujung jari pun tak ada. Hanya karena kita ‘dekat’ dan merasakan hal yang sama? Itu tak cukup, tak cukup untuk meyakinkan kita berada dalam jalan yang sama.

Hingga kini, tak ada ikatan dan status yang jelas di antara kita. Tak ada suatu kata atau kejadian yang menyuruhku untuk mempertahankan segalanya. Kita mengalir, dengan segala yang kita miliki. Tanpa paksaan, dan hanya masih menerka-nerka perasaan satu sama lain. Aku berdiri bersamamu. Jika kini ada yang lain menarikmu untuk pergi, apa hakku untuk mempertahankanmu?
Sudah ku bilang sejak awal. “Setia itu sulit”. Ya? :’)

Jika kini dia menginginkanmu kembali dan kau pun lemah karena ucapannya, mengapa tidak?
Aku. Aku bukan siapa-siapa, kita baru saling mengenal, baru merasakan akar-akar dari rasa yang belum tumbuh tinggi. Sedangkan dia? Dia yang pernah mengisi hatimu, pernah menjadi bagian dari cerita masa lalumu, pernah mengukir cerita bersama hidupmu. Dia yang mungkin lebih mengertimu daripada aku. Dia memaksamu dan tak membiarkanmu untuk bersamaku, juga kau yang mencoba mengerti keadaannya. Aku paham, ini bukan porsiku. Aku tahu. Aku mengerti.

Aku hanya mampu tersenyum mendapati kau yang seolah-olah kembali terbuai oleh masa lalumu.

Hai kau, jika harus kau yang membagi perasaanmu untukku dan untuknya, aku tak pernah bisa. Pergilah bersamanya, habiskan dan berikan seutuhnya cintamu untuknya, bersama dia yang pernah menjadi segalanya untukmu dulu. Jangan kau sangkut-pautkan aku dengan segala perasaanku dan kehadirannya. Jika kau mampu meyakinkannya, aku pun akan meyakinkanmu bahwa aku akan baik-baik saja. Tak perlu masalahkan ini, hanya perlu langkahkan kakimu seirama dengannya. Dan biarkanlah aku dengan segala luka yang kini membuatku berdiri.

Terimakasih telah memberikan luka yang begitu membuatku tak percaya arti dari kekuatan sebuah janji, dari sebuah pengkhianatan yang terlampau jauh untuk diingkari. Terima kasih, meskipun aku tak tahu harus berterima kasih untuk apa. Mungkin untukmu yang telah berhasil membuatku membuka celah kecil dalam hatiku, dan akhirnya kini harus ku tutup rapat-rapat, sampai aku menemukan seseorang yang benar-benar membawakan untukku arti dari sebuah janji yang seutuhnya. Tanpa pengkhianatan, tentunya.

Sabtu, 06 Oktober 2012

Tanah Air--Kita

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 21.21 0 comments

“Tema lombanya tentang apa?”
“Tanah air, dan semua yang berhubungan dengan perjuangan di masa penjajahan.”
“Tanah air? Hmm…”
“Iya, kenapa emang?”
“Satu kesatuan yang utuh. Coba kalau masing-masing. Tanah ya cuma tanah, air ya cuma air. Kalau tanah air? Sesuatu yang berarti lebih, bahkan lebih dari definisi sebelumnya.”
“Iya ya…”
“Sama kaya aku sama kamu. Aku ya aku, kamu ya kamu. Kalau aku sama kamu jadi kita? Bakal lebih… Lebih indah dari sekedar kita masing-masing.”
*muntah bambu runcing*
=))
September 2012
Rindam III, Lomba PENTA glb.2

Senin, 01 Oktober 2012

Haruskah?

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 14.37 0 comments


Bertemu untuk berpisah, atau bertemu untuk bersama?
Kita dipertemukan untuk dipisahkan, atau kita dipertemukan untuk bersama?

Kau tahu, mengapa Tuhan memperkenalkan kalian? Mengapa Tuhan mempertemukan kalian? Mengapa Tuhan memberikan rasa yang berbeda di antara kalian? Dan mengapa Tuhan menakdirkan kalian untuk saling berhadapan sekarang?

Padahal sebelum ini, kalian saling acuh. Tak saling bertatap, tak saling berjabat tangan, tak saling tersenyum, dan tak saling mengenal satu sama lain.

Kalian bertemu, saling mengenal, saling bercerita, saling berbagi, saling diam, dan saling... jatuh cinta.

Merasakan segala rasa bersama, menerima kenyataan bersama, menghadapi dunia bersama. Melewati waktu bersama menghadapi rintang dalam hening. Bertahan dalam perih, bersama dalam bahagia. Pahit bersama, manis bersama. Genggaman tangan itu menguatkan langkah yang sering terjatuh, langkah yang sempat terhambat, dan langkah yang sempat terluka.

Namun kini, haruskah kata ‘perpisahan’ menjadi jalan akhir dari sebuah perjalanan? Perjalanan yang belum, atau mungkin yang takkan berakhir?
Haruskah semuanya berakhir?
Haruskah semua berlalu bersama angin? Haruskah berakhir bersama ombak yang pernah menjadi saksi janji suci?

Haruskah? Haruskah jalan perpisahan ditempuh dalam hati yang tak dapat dipisahkan?
Pejamkan matamu, selami hatimu…
Ingatkah kau ketika pertama kali bertemu dengannya?
Ingatkah ketika kalian saling mengenal?
Ketika saling bercerita, ketika saling berbagi, ketika tersenyum ketika menemukan banyak hal yang sama dalam diri kalian?
Ingatkah saat saling mencuri pandang? Saat debar jantung lebih cepat ketika saling bertemu?
Ingatkah ketika mulai merindukannya dan tak tenang saat jauh darinya?
Ingatkah saat kau diam, berlutut, dan memohon pada Tuhan untuk memilikinya?
Ingatkah saat Tuhan mengabulkan permintaanmu, dan berjanji dengan saksi indah di bawah sinar rembulan? Ingatkah ketika kau menghapus air mata bahagianya?

Dan kini, kau membiarkan air mata dengan meninggalkan luka yang dalam, membiarkannya berjalan sendiri dalam gelap, mengacuhkan rasa yang pernah hadir dan mengisi hidup yang pernah tak berarti.
Ingatlah ketika kau jatuh cinta padanya mengalahkan rasa apapun yang pernah ada.
Tak ingatkah kau pada ikrar ketika saling mencintai?
Sadarkah kau? Air mata terjatuh pada orang-orang yang tak menginginkan kalian berpisah. Mereka, mereka tak yakin. Tak yakin kau dapat berdiri sendiri, maupun dirinya. Kalian saling menguatkan, dan selalu hampa tanpa salah satunya.

Ketidaksetiaan menghancurkan segala mimpi yang kalian bangun bersama.
Kau. Mengapa kau berani berkomitmen jika kau berani berkhianat? Mengapa kau berani berjanji jika akhirnya harus diingkari? Mengapa kau berani mencintai jika hanya untuk menyakiti? Mengapa kau berani mengukir cinta jika masih menggoreskan luka?
Kau berani berkomitmen, berarti kau berani menjaga sebuah kepercayaan. Kau berani berjanji, kau mampu untuk tak mengingkari. Kau berani meminta dirinya pada Tuhan, kau berani menjaganya. Dan kau berjanji mencintainya, berarti kau mampu untuk menjaga hatinya.

Kerikil kecil dan badai besar akan selalu ada, perbedaan selalu terjadi, rasa ketidak cocokan selalu menghantui, dan ego yang selalu menabrakkan diri. Namun sadarkah kalian? Tuhan memberikan segala rasa untuk tetap mempersatukan kalian dalam keadaan apapun. Semakin banyak rintang yang kalian hadapi, semakin kuat pula rasa memiliki yang kalian yakini. Kepercayaan penuh, kepercayaan yang tetap teguh, kepercayaan yang takkan termakan oleh waktu.

Kau dan dia bukan menjadi dua kata yang saling terpisah, namun satu. Menjadi kalian.
Sadarlah, Tuhan mempertemukan kalian bukan untuk alasan yang kosong. Kalian dipertemukan untuk bersatu, bukan untuk berpisah.

Tuhan menciptakan wanita dari tulang rusuk pria, dan pria yang kehilangan satu tulang rusuknya untuk menciptakan makhluk pasangannya. Takkan berpisah, takkan terpisah.
Kalian. Sepasang manusia yang Tuhan ciptakan dengan penuh cinta.


Amirush Shaffa Fauzia
121001
Teruntuk kalian, kedua sahabat yang selalu aku cintai.


 

Amirush Shaffa Fauzia Copyright © 2012 Design by Sandi Hidayat