Senin, 18 Juli 2016

“Kehilangan, Takkan Pernah Menjadi Sederhana”

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 15.08
     Udara terasa lebih dingin dari biasanya ketika saya memutuskan segalanya kala itu. Saya yang memutuskan untuk mengakhiri segalanya ketika semuanya (terbilang) baik-baik saja. Tak ada yang salah, tak ada kesalahan, tak ada pula yang menyalahkan. Namun saya yang memutuskan.
             Entah mengapa, namun saya merasa bahwa ini adalah satu-satunya jalan keluar yang harus diambil ketika ada keharusan yang memantik diri saya untuk menghentikan proses ini. Proses mencintai dengan segala kerumitan di dalamnya. Proses (saling) memahami agar tak sepaham hanya dari satu pihak. Proses (saling) menjaga agar satu sama lainnya tak terluka. Proses (saling) mengerti agar semuanya terkendali. Proses... yang begitu banyak. Intinya, proses untuk (saling) mencintai yang tidak hanya untuk satu atau dua hari, namun diperuntukkan beribu bahkan berjuta hari.
              Namun sejak awal, saya sudah menolak kehadiran cinta yang datang secara tidak diduga dan memaksa saya untuk tetap berada di zona pink ini. Zona yang rawan akan kebahagiaan yang bersamaan dengan luka. Saya enggan mengikuti alurnya. Namun dengan seiringnya waktu, melunaknya hati saya menjadi satu-satunya alasan untuk menerimanya di kehidupan cinta saya yang ia belum tahu, bahkan hal terkecil pun bisa menjadi luka jika ia tetap ingin bertahan.
His last bucket for me.
              Dan, hal itu terjadi lagi kepada saya. Saya meninggalkannya. Meninggalkan lelaki yang siap meluangkan waktunya untuk saya, mengerahkan segala kemampuannya, terjaga di malam ketika saya tidak bisa terlelap, membatalkan reuni dan buka puasa bersama sahabat-sahabatnya demi saya—yang katanya lebih dahulu dijanjikan olehnya, menyimpan makanan atau minuman di pagar rumah ketika saya merasa lapar dan enggan untuk keluar rumah, yang mendengarkan ocehan saya ketika masa kritis saya datang di manapun, yang membidangkan dadanya untuk disandari ketika saya mengantuk di suatu pertokoan di mall besar, yang begitu peduli dengan anti gores handphone saya meski saya pun tak pernah memikirkannya lalu ia menyulap handphone saya menjadi seperti baru kembali, yang berusaha menguatkan ketika saya hampir tak memiliki daya bersemangat kembali, yang merayakan ulang tahun saya dengan segala yang saya sukai tanpa cela, yang selalu diam jika cemburu melihat saya jalan dengan lelaki lain, yang selalu mencoba mengobati ‘kerungsingan’ saya dengan berbagai macam caranya yang selalu berhasil membawa tawa saya kembali hadir, yang berusaha penuh untuk menggosok baju saya yang celemotan terkena cat putih di pom bensin, yang mengabulkan kamera favorit saya untuk mengabulkan selfie bersama, yang selalu menjaga saya dan memastikan bahwa saya tidak terluka, meski saya yang kerap kali mengacuhkannya. Jika saya harus menuliskan semuanya, tidak cukup selembar saja, dan tak perlu kau tanya lagi bahwa semua itu membawa bahagia. Namun yang terakhir ia lakukan sebelum bertolak ke tempat pengabdiannya, ia diam-diam menyimpan bucket bunga mawar merah di pagar rumah saya. Dan itu membuat saya menghela nafas berkali-kali, mengapa masih repot-repot mencoba untuk membahagiakan saya meski ia tahu saya tak lagi membalas pesannya?
          Ya, dan saya meninggalkannya. Dengan sadar? Tentu. Saya sadar sepenuhnya bahwa saya meninggalkannya dan memutuskan untuk mengakhiri segala sesuatunya, meski dirinya tetap berkutat pada pendiriannya yang akan tetap menunggu saya hingga kapanpun. Saya tidak tahu apakah ia benar-benar dengan perkatannya, ataukah hanya main-main belaka karena arus semangat anak muda yang masih membara, saya tidak tahu. Yang saya tahu, menjadi lelaki seperti dirinya tidaklah mudah. Menghadapi saya dengan kondisi yang tak menentu dengan kadar kesabaran yang dibutuhkan seorang profesional. Saya sangat menyadari itu. Entah mengapa, terkadang saya hanya ingin menguji seseorang dengan perlakuan saya yang terkadang kekanak-kanakan, manja, tidak ingin diatur, dan hal lainnya yang membuat ilfeel terhadap saya. Hal itu cukup berhasil saya terapkan kepada mereka, para lelaki yang mendekati saya. Setelahnya, ada yang bertahan dan ada juga yang meninggalkan. Namun, setelah semua yang saya lakukan itu membuat saya  bingung dengan keinginan saya sendiri, ia memilih untuk bertahan. Ia bertahan di atas pertengkaran dan perdebatan cukup rutin yang terkadang berujung pada keberpihakan terhadap diri saya. Dan dengan nyata, ia melakukannya untuk tetap bertahan menghadapi saya.
            Ia selalu berkata, bahwa saya adalah kebahagiannya. Saya adalah alasannya untuk banyak perubahan yang menyenangkan dalam dirinya, dan saya adalah alasan-alasannya yang terkadang tidak dapat diterima oleh akal. Saya terkadang hanya tertawa mendengarnya, namun saya tahu, itu cinta. Hubungan kami tanpa ikatan, namun bahagia yang mengalir dalam darah kami bukanlah kepalsuan semata. Orang-orang, atau teman-teman saya menyebutnya goal relationship, atau ketika ia melakukan hal yang sweet kepada saya yang biasa dilakukan oleh seorang yang berpasangan, kami menyebutnya itu adalah hal yang “Laaah, itu sih sering kamu bilang atau lakuin atau kita kerjain bareng kali”, dan kami kerapkali hanya tertawa. Dan ketika saya bertanya pada dia “Kamu sayang sama aku? Kenapa?” ia pun menjawabnya dengan sungguh. Namun ketika ia bertanya hal yang serupa kepada saya, saya tidak pernah menjawabnya. Jawabannya adalah saya yang pura-pura tidak mengerti, atau mengalihkan pada hal-hal yang membuat kami berdua tertawa, lalu hanya ada bahagia setelahnya meski tetap tanpa jawaban apa-apa dari saya. Saya membiarkan cinta hadir selama ini, namun saya juga kini tak lupa untuk menguncinya kembali. Saya rasa sudah cukup, saya tidak mau membuka luka semakin menganga yang setiap harinya seperti ditetesi cuka: pedih, namun tak ingin segera berakhir. Maka meski kembali menuai luka, saya dengan tegas menutupnya. Agar tak ada lagi luka yang lebih perih di kemudian hari.
         “Saya gak menutup diri, saya sadar diri. Iya, dunia itu memang luas tapi kamu cuma satu. Saya harus keliling dunia cari seseorang yang kayak kamu? Sudah saya bilang, kamu cuma satu. Saya gak mau berjuang sampai sini. Kalaupun kamu cape, gapapa. Saya tetep mau nunggu di sini, di belakang kamu. Gak apa-apa kamu mau sama siapapun juga, tapi izinin saya untuk tetap bertahan, karena saya  bertahan untuk kebahagiaan yang selama ini banyak saya rasakan. Saya tahu, cuma kamu yang bikin saya sebegininya. Jangan suruh saya cari yang lain, percuma. Selamat istirahat.”
            Sepenggal percakapan ketika malam kesekian saya memaksa pergi darinya.
            Saya hanya ingin ia mengerti bahwa saya tidak sesempurna bayangannya. Ia hanya mengetahui saya dari sudut pandang seseorang yang sedang jatuh cinta dan menganggap semua hal di dunia ini indah, seiyanya hal buruk terjadi pun tetap akan dilewati dengan bahagia karena cinta hanya proyeksi antara tipisnya bahagia dan luka di waktu yang sama, meski dari sudut pandang yang berbeda. Dia bisa mencintai saya dengan mengenal saya yang hanya sebatas kulitnya saja, namun saya tidak yakin ada yang benar-benar mencintai saya dengan segala kebodohan yang saya punya. Mungkin bukan tidak yakin, namun belum yakin karena saya berkaca pada pengalaman cinta dangkal yang menyakitkan, lalu kehilangan yang begitu mendalam.
         Saya lelah jika nanti saya menerima cinta dan jatuh kepadanya, ternyata ia bukanlah seseorang yang dituliskan Tuhan untuk saya. Saya tidak ingin mengulang cinta yang keliru. Saya sulit untuk jatuh cinta, pun untuk menerima seseorang yang baru di kehidupan saya. Saya tak ingin merepotkan seseorang yang telah banyak berkorban untuk saya, namun akhirnya hanya menuai luka dari cinta saya. Saya tidak mau. Maka dari itu, saya memilih untuk meninggalkan. Jika memang takdirnya untuk bersama, saya tak pernah ragu untuk meminta kepada Tuhan untuk dipertemukan kembali. Cinta yang tepat akan datang di waktu yang tepat pula, bukan?
              Saya tahu ini semua takkan mudah bagi saya, maupun bagi dia. Saya hanya butuh jeda antara bahagia dan luka yang kini saya rasakan bersamaan. Saya butuh waktu untuk merasakan dan melepaskan semuanya. Saya yang memutuskan, bukan berarti saya baik-baik saja. Saya pun sama sepertinya, merasakan luka. Kehilangan, tidak akan pernah bisa menjadi sesuatu yang sederhana. Saya akan tetap sesak dan menangis karenanya. Membicarakan tentang kehilangan pasti tidak akan pernah ada habisnya, karena hidup selalu mengantar kita pada kedatangan dan perpisahan yang baru. Namun untuk itu, saya melangkahkan kaki jauh-jauh untuk melihat hal baik yang ada setelah kesakitan ini mengering. Kelak, kita akan sama-sama merasakan bahagia, meski tak lagi bersama.
           Masih banyak cerita tentang kita yang belum saya tuliskan. Tentang indah, maupun tentang tangis yang kita sembunyikan satu sama lain. Mungkin nanti akan menjadi cerita yang abadi dalam catatan-catatan semesta saya. Saya harap, kehilangan ini menjadikan kita sama-sama tersadar untuk lebih kuat dalam menjalani hidup. Dan karena esok, tak akan ada yang lebih pasti dari esok. Maka kuatkanlah lewat doa. Tuhan yang kelak selalu membuatmu bahagia, bukan saya atau siapa saja yang pernah hadir dalam hidup kita.
            Terimakasih untuk segala kebaikanmu. Sampai berjumpa di waktu lain, yang entah kapan. Semoga kau tetap baik-baik saja dan berat badanmu meningkat, minimal menginjak enam puluh. Angka yang sulit kau capai, bukan? Karena tentu aku akan senang mendengarnya, kelak.

“Hidupmu terlalu baik, jika denganku banyak luka yang harus kau tutupi. Dan aku tidak mau memberimu cinta yang merepotkan.” – Fa



Dalam hawa dingin yang tak biasanya, dalam lilir sehabis bangun tidur siang,
lalu dikejutkan dengan alunan lagu Pamit dari Tulus dari bunyi televisi kamar sebelah.
Hanya hampa yang terasa, dan bulir bening dari mata sisa-sisa menyeka kenangan.
Aku harap, ini yang terakhir.
Berbahagialah.
Dengan kesungguhan, aku melepasmu.

0 comments:

Posting Komentar

 

Amirush Shaffa Fauzia Copyright © 2012 Design by Sandi Hidayat