Sabtu, 12 November 2016

Jawaban atas Pertanyaan

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 12.03
“Ngapain harus pergi jauh-jauh?”
“Kenapa harus pergi repot-repot ke sana ketika di sini udah serba lengkap?”
“Mau cari apa?”
“Kenapa pertukaran mahasiswa gak ke luar negeri?”
“Kenapa mau-maunya kuliah di sana?”
“Kenapa?”
“Kenapa?”
“Kenapa?”
“Kenapa?”

Dan sejuta pertanyaan kenapa, mengapa, ngapain, buat apa, dan sejenisnya yang memenuhi percakapan, barisan chatting, atau pikiran saya semenjak saya pergi ke tempat ini. Sebenarnya, saya sudah menjawab satu-satu pertanyaan yang beruntun dan keingintahuan yang cukup besar dari kerabat, keluarga, teman-teman, dan semua orang yang saya kenal. Tapi rasa penasaran mereka sepertinya belum terpuaskan. Mereka selalu bertanya-tanya kenapa saya harus berada di sini, hari ini.

Akhirnya, setelah dua bulan lebih sembilan hari saya menapakkan kaki saya di sini, saya memutuskan untuk menulis (kembali) setelah sempat beberapa waktu vakum untuk blogging. Karena permintaan khusus juga dari beberapa pihak yang menginginkan saya untuk intens kembali, jadi, ya, baiklah. Untuk urusan menulis, saya pribadi terkadang sulit menolak hehehehe. Right, here you go.

Berawal di bulan Mei 2016, saya sedang santai di rumah waktu itu tiba-tiba sahabat saya menghubungi saya dan share informasi beasiswa. Awalnya saya hanya scroll saja, tapi tetiba mata saya tertuju pada satu nama beasiswa yang penyelenggaranya adalah Dikti. Namanya Permata. Permata adalah singakatan dari Pertukaran Mahasiswa Tanah Air Nusantara. Saya mencoba untuk mencari info tentang Permata ini dari mulai googling sampai menghubungi langsung pejabat fakultas hingga universitas untuk menuntaskan rasa penasaran saya yang tinggi ini, karena memang saya tidak pernah mendengar beasiswa ini sebelumnya. Dan, ketika itu saya hanya disuruh mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan (administrasi untuk apply beasiswa seperti biasanya) lalu menunggu panggilan, katanya.

Cukup lama proses itu berjalan. Dari mulai pengumpulan berkas hingga tes dan wawancara yang jauh mundur dari jadwal yang ditetapkan Dikti di juklak juknis yang dapat diunduh di webnya, hingga dipanggilnya kembali saya oleh pihak universitas. Saya pun tidak terlalu berharap untuk mendapatkan beasiswa ini karena awalnya memang sama sekali tidak ada kejelasan dari berbagai pihak. Sampai pada akhirnya, pada bulan Agustus, saya dipanggil oleh pihak University Center UPI dan Pak Fachru mengatakan kepada saya bahwa saya akan pergi ke UNP, Universitas Negeri Padang. Kepergian saya ke Padang pun karena rekomendasi dari Ketua Departemen.

Saya pun langsung memberitahukan kepada orang tua bahwa saya (kemungkinan besar) memang akan berangkat ke Padang. Yang saya pikirkan saat itu adalah saya akan betah di sana karena ada masakan yang serba pedas dan rendang (Ini serius) haha. Dan selanjutnya, selama tenggat waktu hingga keberangkatan, orang-orang tahunya bahwa saya akan pergi ke Padang. Dadah. *Backsound tari piring*

September 2016, pada saat saya sedang menjadi panitia Masa Orientasi tingkat Universitas, saya tiba-tiba dipanggil kembali oleh Pak Fachru untuk menghadap di kantor UC. Dan ketika masuk kantor beliau,

“Shaffa, kamu jadinya ke Makassar, ya.”
...................
...................
...................

“HAAAAAAAH? MAKASSAAAAAAAAAARRRRRR?????!!!!!!!!!!”


 (Jangan membayangkan wajah saya pada saat itu. Serius, saya juga tidak mau membayangkannya.)

Saya memang terlanjur berteriak waktu itu karena kaget, hingga saya menutup mulut saya sendiri karena membuat gaduh kantor yang cukup tenang saat itu. Benar-benar kaget, karena Makassar tidak ada dalam pikiran saya sebelumnya. Pernah memang waktu sebelum diberitahukan ke Padang, saya sempat dicanangkan pergi ke Gorontalo, tapi tidak jadi. Kata orang, ke Padang aja udah jauh gimana lagi ke Makassar.............. oke, santai santai. Masih di Indonesia, kok. Saya bergumam pada saat itu. Dan ternyata yang membuat saya lebih kaget adalah saya satu-satunya yang terpilih beasiswa ini dari Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra di UPI. Serta wejangan Dekan “Kamu satu-satunya dari fakultas kita. Kamu harus membanggakan!” yang membuat darah juang saya semakin berapi-api. (Anggap aja ini gak lebay).

Entah apa yang membuat saya kaget ketika mendengar Makassar, tetapi saya memang tidak tahu alasan saya untuk kaget. Tapi memang saya kaget. Karena apa ya, emm... mungkin karena... emm... apa, ya? Oke, skip.

“Hati-hati, ya.”, “Jaga diri di sana”, “Di sana beda sama di sini, jangan samain ya”, dan berbagai wejangan lain yang “dalam tanda kutip” masih banyak lagi.

Makassar. Ada apa memang dengan Makassar? Kenapa orang-orang begitu khawatir ketika saya akan pergi ke Makassar?

Sebenarnya, saya tahu kekhawatiran mereka. Tapi saya tetap sok-sok santai menghadapi kenyataan ini. Ha ha ha. *Padahal di dalam hati deg-degan juga sih.*

Kenapa harus degdegan? Karena....... genap seminggu sebelum saya pergi ke Makassar, saya melihat banyak sekali berita di televisi tentang Makassar dan... (You know) pastilah tahu waktu itu sedang hot-hotnya berita yang kasus guru dengan siswanya di sekolah yang orang tuanya marah gara-gara... ya begitu lah pokoknya, baca sendiri saja beritanya. Jadi, ya, sebagai manusia insan bumi yang memiliki hati, wajar kan kalau merasakan kekhawatiran? Gimana lagi, berita itu sudah menjadi rubrik nasional dan semua orang yang tahu saya akan pergi ke sana, seperti memberikan tatapan ‘tanda seru’ pada saya. Iya, no problem, inshaaAllah saya bisa jaga diri.

Toh, meski datang badai Katrina atau pesawat yang delay pun (Baca tulisan saya sebelumnya) atau pengahalang apapun jika memang sudah takdirnya saya harus ke sana, ya saya tetap pergi ke sana. Saya pun harus menanggalkan semua kekhawatiran saya selama ini karena memang saya adalah anak pertama di keluarga yang belum pernah, atau boleh dibaca belum pernah diizinkan pergi jauh dalam waktu yang cukup lama sebelumnya. Meskipun saya memang suka travelling, tapi tidak pernah sampai lebih dari 2 minggu. Dan ini? 6 bulan men, mantap djiwa...... Tapi serius, jiwa penjelajah dalam darah saya kental sekali, hanya selama ini mungkin memang belum diizinkan oleh orang tua untuk bepergian jauh sendiri.

Dan mungkin, inilah saatnya. *Pake backsound jeng-jeng-jeng jangan? Gak usah ya, oke.*

Yap, and here I am. Di Kota Makassar.

Mari, kita kembali pada pertanyaan anda-anda-anda-dan-anda di awal tadi.

Banyak sekali pertanyaan yang terkadang saya jawab dengan senyuman, karena banyak yang tidak tahu apa alasan saya untuk menerima beasiswa pertukaran mahasiswa di dalam negeri ini. Banyak juga yang menyayangkan mengapa tidak saya ambil beasiswa pertukaran ke luar negeri saja ketika orang-orang sedang ramai-ramai membicarakan tentang exchange student ke Filipina, Thailand, Prancis, Eropa, dan negara-negara lainnya. Dan saya, mengapa malah memilih kota di dalam negeri bukan negara di luar negeri?

Jawabannya adalah, cinta.

Maksudnya?
Hah?
Apa?

Iya, saya tahu pasti itu yang terpikirkan di benak kalian ketika membaca tulisan barusan. Apa, cinta? Jadi maksudnya saya punya cinta di Makassar, gitu? Hei, SALAH. Bukan itu maksudnya. Cinta itu luas, sayang. Mari, saya jabarkan agar tak terjadi kesalahpahaman.

Satu-satunya alasan saya untuk menampikkan segala berita miring atau hal buruk apapun yang terjadi selama ini adalah karena,

Saya cinta Indonesia.

Itu alasan saya mengapa saya berada di sini. Terkadang saya berpikir, mengapa kita harus jauh-jauh mendahulukan atau memprioritaskan yang luar ketika masih banyak yang belum terjamah di dalam? Maksudnya adalah mengapa kita harus mendahulukan budaya orang lain ketika kita sendiri memiliki budaya yang tidak kalah indahnya?

Sedih. Jujur, saya sedih. Banyak sekali orang menganggap bahwa luar negeri adalah segalanya. Luar negeri harus selalu diprioritaskan. Memang benar, kita harus belajar banyak dari mereka dan berlomba untuk berpola pikir seperti mereka sehingga banyak mendatangkan kesuksesan yang (mungkin) tidak terdapat di sini. Tapi, hey, lihat! Banyak sekali yang anda tidak tahu di bumi Pertiwi ini. Indonesia ini sangat kaya. Sungguh, sangat kaya. Banyak sekali yang anda, saya, dan kita tidak tahu selama ini tentang Indonesia.

Lalu, bagaimana kita akan membawa nama Indonesia di kancah dunia jika kita tidak mengetahui seluk beluk Indonesia itu sendiri?

Maka dari itu, saya bersungguh-sungguh untuk menjalani proses dari pertukaran mahasiswa ini. Di samping memang kewajiban kuliah adalah yang utama, tetapi penggalian kebudayaan, tradisi, bahasa, adat istiadat pun adalah kewajiban yang pula harus diprioritaskan. Kita harus benar-benar mendalami dan mengetahui bahwa Indonesia tidak hanya sekedar sebuah negara kepulauan yang dilengkapi dengan 34 Provinsi. Kalau hanya sekedar itu, siswa SD pun tahu. Sedangkan, kita adalah agent of change. Mahasiswa yang menjadi Mahanya siswa. Kita yang harus menjadi penggerak nyata untuk menyadarkan bahwa Indonesia tidak seburuk yang dibayangkan, di samping bobroknya sistem pemerintahan yang selalu media koar-koarkan tentang korupsi, pajak, dan segalanya yang membuat kita malas mendengar tentang Indonesia.

Jangan menganggap Indonesia ini hanya sebuah negara yang berisikan berbagai kepalsuan. Tapi, lihatlah lebih dekat. Lihatlah lebih jauh. Indonesia diperjuangkan dengan perjuangan, peluh, darah, nyawa, dan segalanya yang membuat negeri ini bisa berdiri dengan kokoh. Dan kita, jangan kita yang membuatnya rapuh. Justru kita yang harus membuatnya kuat.

Sungguh, saya sangat mencintai negeri ini. Tetapi terkadang saya kesal pada mereka yang melulu bicara tentang “Ah, namanya juga Indonesia.” atau bicara buruk tentang negeri ini dengan sangat mudahnya terlontar dari mulut mereka. Memang selama ini kita minum dan mandi dari air di negara tetangga? Tidak, kan? Justru, negara tetangga sebelah yang mengemis air, tanah dan pasirnya pada negeri kita. Air di sana dijual sangat mahal karena langka, karena mereka tidak punya. Negara yang kecil namun dipuja di dunia. Lantas, mengapa Indonesia yang memiliki segalanya malah seolah-olah hilang dari peta dunia?

Cintai terlebih dahulu negeri sendiri, lalu pergilah jelajahi dunia bawa harum nama negeri. – ASF

Inilah misi yang saya bawa. Dengan cinta, untuk Indonesia.




Makassar, 12 November 2016
Kepada
yang selalu bertanya-tanya selama ini,
silakan resapi tulisan ini.




Satu lagi. Semua kekhawatiran saya maupun orang-orang tentang Makassar sebelum saya berangkat ke sini, telah patah. (Silakan baca tulisan saya selanjutnya) See you.

0 comments:

Posting Komentar

 

Amirush Shaffa Fauzia Copyright © 2012 Design by Sandi Hidayat