“Ngapain harus pergi jauh-jauh?”
“Kenapa harus pergi repot-repot ke sana
ketika di sini udah serba lengkap?”
“Mau cari apa?”
“Kenapa pertukaran mahasiswa gak ke luar
negeri?”
“Kenapa mau-maunya kuliah di sana?”
“Kenapa?”
“Kenapa?”
“Kenapa?”
“Kenapa?”
Dan sejuta pertanyaan kenapa, mengapa, ngapain,
buat apa, dan sejenisnya yang memenuhi percakapan, barisan chatting, atau pikiran saya semenjak saya pergi ke tempat ini. Sebenarnya,
saya sudah menjawab satu-satu pertanyaan yang beruntun dan keingintahuan yang
cukup besar dari kerabat, keluarga, teman-teman, dan semua orang yang saya
kenal. Tapi rasa penasaran mereka sepertinya belum terpuaskan. Mereka selalu
bertanya-tanya kenapa saya harus berada di sini, hari ini.
Akhirnya, setelah dua bulan lebih sembilan
hari saya menapakkan kaki saya di sini, saya memutuskan untuk menulis (kembali)
setelah sempat beberapa waktu vakum untuk blogging.
Karena permintaan khusus juga dari beberapa pihak yang menginginkan saya untuk intens
kembali, jadi, ya, baiklah. Untuk urusan menulis, saya pribadi terkadang sulit
menolak hehehehe. Right, here you go.
Berawal di bulan Mei 2016, saya sedang santai
di rumah waktu itu tiba-tiba sahabat saya menghubungi saya dan share informasi beasiswa. Awalnya saya
hanya scroll saja, tapi tetiba mata
saya tertuju pada satu nama beasiswa yang penyelenggaranya adalah Dikti. Namanya
Permata. Permata adalah singakatan dari Pertukaran Mahasiswa Tanah Air
Nusantara. Saya mencoba untuk mencari info tentang Permata ini dari mulai googling sampai menghubungi langsung
pejabat fakultas hingga universitas untuk menuntaskan rasa penasaran saya yang
tinggi ini, karena memang saya tidak pernah mendengar beasiswa ini sebelumnya. Dan,
ketika itu saya hanya disuruh mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan (administrasi
untuk apply beasiswa seperti biasanya)
lalu menunggu panggilan, katanya.
Cukup lama proses itu berjalan. Dari mulai pengumpulan
berkas hingga tes dan wawancara yang jauh mundur dari jadwal yang ditetapkan
Dikti di juklak juknis yang dapat diunduh di webnya, hingga dipanggilnya
kembali saya oleh pihak universitas. Saya pun tidak terlalu berharap untuk
mendapatkan beasiswa ini karena awalnya memang sama sekali tidak ada kejelasan
dari berbagai pihak. Sampai pada akhirnya, pada bulan Agustus, saya dipanggil
oleh pihak University Center UPI dan Pak Fachru mengatakan kepada saya bahwa
saya akan pergi ke UNP, Universitas Negeri Padang. Kepergian saya ke Padang pun
karena rekomendasi dari Ketua Departemen.
Saya pun langsung memberitahukan kepada orang
tua bahwa saya (kemungkinan besar) memang akan berangkat ke Padang. Yang saya
pikirkan saat itu adalah saya akan betah di sana karena ada masakan yang serba pedas
dan rendang (Ini serius) haha. Dan selanjutnya, selama tenggat waktu hingga
keberangkatan, orang-orang tahunya bahwa saya akan pergi ke Padang. Dadah. *Backsound
tari piring*
September 2016, pada saat saya sedang menjadi
panitia Masa Orientasi tingkat Universitas, saya tiba-tiba dipanggil kembali
oleh Pak Fachru untuk menghadap di kantor UC. Dan ketika masuk kantor beliau,
“Shaffa, kamu jadinya ke Makassar, ya.”
...................
...................
...................
“HAAAAAAAH?
MAKASSAAAAAAAAAARRRRRR?????!!!!!!!!!!”
(Jangan
membayangkan wajah saya pada saat itu. Serius, saya juga tidak mau
membayangkannya.)
Saya memang terlanjur berteriak waktu itu
karena kaget, hingga saya menutup mulut saya sendiri karena membuat gaduh
kantor yang cukup tenang saat itu. Benar-benar kaget, karena Makassar tidak ada
dalam pikiran saya sebelumnya. Pernah memang waktu sebelum diberitahukan ke
Padang, saya sempat dicanangkan pergi ke Gorontalo, tapi tidak jadi. Kata orang,
ke Padang aja udah jauh gimana lagi ke Makassar.............. oke, santai
santai. Masih di Indonesia, kok. Saya bergumam pada saat itu. Dan ternyata yang
membuat saya lebih kaget adalah saya satu-satunya yang terpilih beasiswa ini dari
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra di UPI. Serta wejangan Dekan “Kamu satu-satunya
dari fakultas kita. Kamu harus membanggakan!” yang membuat darah juang saya
semakin berapi-api. (Anggap aja ini gak lebay).
Entah apa yang membuat saya kaget ketika
mendengar Makassar, tetapi saya memang tidak tahu alasan saya untuk kaget. Tapi
memang saya kaget. Karena apa ya, emm... mungkin karena... emm... apa, ya? Oke,
skip.
“Hati-hati, ya.”, “Jaga diri di sana”, “Di
sana beda sama di sini, jangan samain ya”, dan berbagai wejangan lain yang “dalam
tanda kutip” masih banyak lagi.
Makassar. Ada apa memang dengan Makassar? Kenapa
orang-orang begitu khawatir ketika saya akan pergi ke Makassar?
Sebenarnya, saya tahu kekhawatiran mereka. Tapi
saya tetap sok-sok santai menghadapi kenyataan ini. Ha ha ha. *Padahal di dalam
hati deg-degan juga sih.*
Kenapa harus degdegan? Karena....... genap
seminggu sebelum saya pergi ke Makassar, saya melihat banyak sekali berita di televisi
tentang Makassar dan... (You know) pastilah tahu waktu itu sedang hot-hotnya
berita yang kasus guru dengan siswanya di sekolah yang orang tuanya marah
gara-gara... ya begitu lah pokoknya, baca sendiri saja beritanya. Jadi, ya,
sebagai manusia insan bumi yang memiliki hati, wajar kan kalau merasakan
kekhawatiran? Gimana lagi, berita itu sudah menjadi rubrik nasional dan semua
orang yang tahu saya akan pergi ke sana, seperti memberikan tatapan ‘tanda seru’
pada saya. Iya, no problem, inshaaAllah
saya bisa jaga diri.
Toh, meski datang badai Katrina atau pesawat
yang delay pun (Baca tulisan saya sebelumnya) atau pengahalang apapun jika
memang sudah takdirnya saya harus ke sana, ya saya tetap pergi ke sana. Saya pun
harus menanggalkan semua kekhawatiran saya selama ini karena memang saya adalah
anak pertama di keluarga yang belum pernah, atau boleh dibaca belum pernah diizinkan
pergi jauh dalam waktu yang cukup lama sebelumnya. Meskipun saya memang suka
travelling, tapi tidak pernah sampai lebih dari 2 minggu. Dan ini? 6 bulan men,
mantap djiwa...... Tapi serius, jiwa penjelajah dalam darah saya kental sekali,
hanya selama ini mungkin memang belum diizinkan oleh orang tua untuk bepergian
jauh sendiri.
Dan mungkin, inilah saatnya. *Pake backsound jeng-jeng-jeng
jangan? Gak usah ya, oke.*
Yap, and
here I am. Di Kota Makassar.
Mari, kita kembali pada pertanyaan
anda-anda-anda-dan-anda di awal tadi.
Banyak sekali pertanyaan yang terkadang saya
jawab dengan senyuman, karena banyak yang tidak tahu apa alasan saya untuk
menerima beasiswa pertukaran mahasiswa di dalam negeri ini. Banyak juga yang
menyayangkan mengapa tidak saya ambil beasiswa pertukaran ke luar negeri saja
ketika orang-orang sedang ramai-ramai membicarakan tentang exchange student ke Filipina, Thailand, Prancis, Eropa, dan
negara-negara lainnya. Dan saya, mengapa malah memilih kota di dalam negeri
bukan negara di luar negeri?
Jawabannya adalah, cinta.
Maksudnya?
Hah?
Apa?
Iya, saya tahu pasti itu yang terpikirkan di
benak kalian ketika membaca tulisan barusan. Apa, cinta? Jadi maksudnya saya
punya cinta di Makassar, gitu? Hei, SALAH. Bukan itu maksudnya. Cinta itu luas,
sayang. Mari, saya jabarkan agar tak terjadi kesalahpahaman.
Satu-satunya alasan saya untuk menampikkan
segala berita miring atau hal buruk apapun yang terjadi selama ini adalah
karena,
Saya cinta Indonesia.
Itu alasan saya mengapa saya berada di sini. Terkadang
saya berpikir, mengapa kita harus jauh-jauh mendahulukan atau memprioritaskan
yang luar ketika masih banyak yang belum terjamah di dalam? Maksudnya adalah
mengapa kita harus mendahulukan budaya orang lain ketika kita sendiri memiliki
budaya yang tidak kalah indahnya?
Sedih. Jujur, saya sedih. Banyak sekali orang
menganggap bahwa luar negeri adalah segalanya. Luar negeri harus selalu
diprioritaskan. Memang benar, kita harus belajar banyak dari mereka dan
berlomba untuk berpola pikir seperti mereka sehingga banyak mendatangkan
kesuksesan yang (mungkin) tidak terdapat di sini. Tapi, hey, lihat! Banyak sekali
yang anda tidak tahu di bumi Pertiwi ini. Indonesia ini sangat kaya. Sungguh,
sangat kaya. Banyak sekali yang anda, saya, dan kita tidak tahu selama ini tentang
Indonesia.
Lalu, bagaimana kita akan membawa nama
Indonesia di kancah dunia jika kita tidak mengetahui seluk beluk Indonesia itu
sendiri?
Maka dari itu, saya bersungguh-sungguh untuk
menjalani proses dari pertukaran mahasiswa ini. Di samping memang kewajiban
kuliah adalah yang utama, tetapi penggalian kebudayaan, tradisi, bahasa, adat
istiadat pun adalah kewajiban yang pula harus diprioritaskan. Kita harus
benar-benar mendalami dan mengetahui bahwa Indonesia tidak hanya sekedar sebuah
negara kepulauan yang dilengkapi dengan 34 Provinsi. Kalau hanya sekedar itu, siswa
SD pun tahu. Sedangkan, kita adalah agent
of change. Mahasiswa yang menjadi Mahanya siswa. Kita yang harus menjadi
penggerak nyata untuk menyadarkan bahwa Indonesia tidak seburuk yang
dibayangkan, di samping bobroknya sistem pemerintahan yang selalu media
koar-koarkan tentang korupsi, pajak, dan segalanya yang membuat kita malas
mendengar tentang Indonesia.
Jangan menganggap Indonesia ini hanya sebuah
negara yang berisikan berbagai kepalsuan. Tapi, lihatlah lebih dekat. Lihatlah lebih
jauh. Indonesia diperjuangkan dengan perjuangan, peluh, darah, nyawa, dan
segalanya yang membuat negeri ini bisa berdiri dengan kokoh. Dan kita, jangan
kita yang membuatnya rapuh. Justru kita yang harus membuatnya kuat.
Sungguh, saya sangat mencintai negeri ini. Tetapi
terkadang saya kesal pada mereka yang melulu bicara tentang “Ah, namanya juga
Indonesia.” atau bicara buruk tentang negeri ini dengan sangat mudahnya
terlontar dari mulut mereka. Memang selama ini kita minum dan mandi dari air di
negara tetangga? Tidak, kan? Justru, negara tetangga sebelah yang mengemis air,
tanah dan pasirnya pada negeri kita. Air di sana dijual sangat mahal karena
langka, karena mereka tidak punya. Negara yang kecil namun dipuja di dunia. Lantas,
mengapa Indonesia yang memiliki segalanya malah seolah-olah hilang dari peta
dunia?
Cintai terlebih dahulu negeri sendiri, lalu
pergilah jelajahi dunia bawa harum nama negeri. – ASF
Inilah misi yang saya bawa. Dengan cinta,
untuk Indonesia.
Makassar, 12 November 2016
Kepada
yang selalu bertanya-tanya selama ini,
silakan resapi tulisan ini.
Satu lagi. Semua kekhawatiran saya maupun
orang-orang tentang Makassar sebelum saya berangkat ke sini, telah patah. (Silakan
baca tulisan saya selanjutnya) See you.
0 comments:
Posting Komentar