Siapa yang salah? Rasanya tak ada
yang salah dan tak ada yang perlu dipersalahkan.
Kau, disana. Aku, disini. Dengan
kuasa Tuhan, kita bertemu.
Rasanya terlalu cepat rasa ini
tumbuh dan liar di antara kita. Aku dan kamu saling merasakan, namun hanya diam
dan mencoba saling menyembunyikan. Aku dan kamu saling tahu, tapi tak berkenan
untuk saling memberitahu.
Kita menjalani hari-hari dengan
suasana yang baru dan berbeda dari sebelum saling mengenal dan mengisi satu
sama lain. Hingga suatu saat, kita berjanji dan melingkarkan kedua jari
terkecil kita masing-masing. Tanpa isyarat, tanpa ikatan.
Hingga kini, kau jaga sebuah
janji yang ‘katanya’ takkan kau ingkari.
Namun… sepertinya ada yang salah.
Ketika seorang yang lain mulai merasuki duniamu dan melumpuhkan kedua kakimu
untuk bergerak lari. Aku hanya mampu melihat, tak mampu berkata. Aku tak mampu
melakukan apapun. Untukmu, tentunya.
Aku hanya dapat menggenggam jari
dan tanganku sendiri tanpa membaginya pada siapa pun. Aku sepenuhnya sadar, tak
dapat melakukan apapun untukmu ketika dia mulai menarikmu kembali untuk
dunianya. Hak apa yang kumiliki? Tak ada, seujung jari pun tak ada. Hanya
karena kita ‘dekat’ dan merasakan hal yang sama? Itu tak cukup, tak cukup untuk
meyakinkan kita berada dalam jalan yang sama.
Hingga kini, tak ada ikatan dan
status yang jelas di antara kita. Tak ada suatu kata atau kejadian yang
menyuruhku untuk mempertahankan segalanya. Kita mengalir, dengan segala yang
kita miliki. Tanpa paksaan, dan hanya masih menerka-nerka perasaan satu sama
lain. Aku berdiri bersamamu. Jika kini ada yang lain menarikmu untuk pergi, apa
hakku untuk mempertahankanmu?
Jika kini dia menginginkanmu
kembali dan kau pun lemah karena ucapannya, mengapa tidak?
Aku. Aku bukan siapa-siapa, kita
baru saling mengenal, baru merasakan akar-akar dari rasa yang belum tumbuh
tinggi. Sedangkan dia? Dia yang pernah mengisi hatimu, pernah menjadi bagian
dari cerita masa lalumu, pernah mengukir cerita bersama hidupmu. Dia yang
mungkin lebih mengertimu daripada aku. Dia memaksamu dan tak membiarkanmu untuk
bersamaku, juga kau yang mencoba mengerti keadaannya. Aku paham, ini bukan
porsiku. Aku tahu. Aku mengerti.
Aku hanya mampu tersenyum mendapati kau yang
seolah-olah kembali terbuai oleh masa lalumu.
Hai kau, jika harus kau yang
membagi perasaanmu untukku dan untuknya, aku tak pernah bisa. Pergilah
bersamanya, habiskan dan berikan seutuhnya cintamu untuknya, bersama dia yang
pernah menjadi segalanya untukmu dulu. Jangan kau sangkut-pautkan aku dengan
segala perasaanku dan kehadirannya. Jika kau mampu meyakinkannya, aku pun akan
meyakinkanmu bahwa aku akan baik-baik saja. Tak perlu masalahkan ini, hanya
perlu langkahkan kakimu seirama dengannya. Dan biarkanlah aku dengan segala luka
yang kini membuatku berdiri.
Terimakasih telah memberikan luka
yang begitu membuatku tak percaya arti dari kekuatan sebuah janji, dari sebuah
pengkhianatan yang terlampau jauh untuk diingkari. Terima kasih, meskipun aku
tak tahu harus berterima kasih untuk apa. Mungkin untukmu yang telah berhasil
membuatku membuka celah kecil dalam hatiku, dan akhirnya kini harus ku tutup
rapat-rapat, sampai aku menemukan seseorang yang benar-benar membawakan untukku
arti dari sebuah janji yang
seutuhnya. Tanpa pengkhianatan, tentunya.
0 comments:
Posting Komentar