Rabu, 10 Oktober 2012

Antara Aku, Kau, dan...

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 21.31

Waktu berlalu dan semakin gelap. Kini sudah memasuki malam, dan aku masih terjebak di dalamnya. Aku tak kunjung menemukan jalan keluar, untuk berbalik arah pun sangat sulit di antara orang-orang yang sedang dibombardir oleh musik yang begitu memekakkan telinga. Sedikit demi sedikit kedua kakiku mulai kehilangan kekuatan. Aku hanya mengikuti arus gerakan mereka, sedangkan aku tak memiliki daya untuk bergerak bebas sedikit pun.

Ku lihat, langit begitu gelap. Nafasku mulai tersengal dan kehilangan kendali untuk mengaturnya. Kepalaku merasakan pusing luar biasa, namun aku tak dapat melakukan apapun. Aku begitu panik, dan tak dapat mengendalikan apapun yang sedang terjadi. Buyar, semua terasa buyar dan tak jelas lagi. Aku hanya mampu menangis karena tak dapat melakukan apapun, tak ada orang yang ku kenal sama sekali di sekelilingku. Nafasku semakin sesak, dan…  Tiba-tiba terasa olehku seseorang yang menarik tanganku. Dengan kuat, tangan itu menarik lenganku hingga dapat membawa tubuhku keluar dari kerumunan orang yang begitu banyak itu. Langkahku semakin dekat dengan pintu keluar. Mataku buram, tak dapat melihat dengan jelas siapa yang sedang berhadapan denganku kini. Wajahku masih dipenuhi dengan air mata panik, hingga seluruh tubuhku merasakan gemetar hebat tak henti.

“Kamu ngapain disini?” tanya orang itu, ketika aku sudah lumayan jauh dari keramaian. Suasana begitu gelap, hingga aku tak dapat dengan jelas melihat wajahnya. Namun sepertinya, aku mengenal suaranya yang tak asing di telingaku.
“Apa? Aku tak dapat mendengarmu.” Teriaknya dengan jelas sambil mendekatkan kepalanya ke telingaku hingga menarik kembali tangan kananku dengan lari kecil lumayan jauh, hingga akhirnya kami berdua berhenti di suatu tempat yang cukup terang dan tak terlalu bising oleh konser musik yang kini lumayan jauh dari langkah kami berdua.
“Diga?!” Refleks ku berteriak ketika melihat seseorang itu membalikkan badannya ke arahku.
“Kenapa rif?” Tanyanya lembut, sambil membungkukkan badannya tepat sepantar denganku.
“Kamu… kenapa disini? Ngapain?”
“Harusnya aku yang nanya. Kamu ngapain disini? Gak seharusnya kamu disini, sendirian pula.”
“Aku cuma ngeliput aja.”
“Ngeliput? Sendirian? Kamu perempuan Rif… gak seharusnya sendirian di tempat yang kaya gini.”
“Resiko jadi pers. Resiko jadi wartawan. Resiko jadi paparazzi.”

Suasana hening, ia tak menjawab. Ku ambil nafas panjang dan mengembuskannya keras. Air mataku mengalir lagi, masih merasa trauma dengan kejadian yang baru ku alami, hampir kehilangan kendali nafasku hanya dalam waktu beberapa detik. Namun tiba-tiba kedua tangan hangat itu menyentuh pipiku, mencoba
menghapus air mata yang mengalir dari kedua mataku. Ku tengadahkan wajahku, ku lihat wajah Diga yang begitu hangat menyapa batinku. “Jangan nangis, kamu udah aman. Disini, sama aku.” Aku hanya mampu terdiam, tak dapat menjawab perkataannya, hanya anggukan kecil dan senyuman sebagai jawabannya.

Mata coklatnya menatapku dalam, seolah mencari sesuatu yang sedang terjadi dalam hatiku. Aku memalingkan wajahku, mencoba mencari kegiatan lain untuk mengalihkan pandangannya. Ku ambil kamera yang sejak tadi menggantung di leherku dan melepaskannya.

“Hmm… pers. Tak mampu jauh dari kamera, note dan bolpoin.”

Aku hanya tersenyum mendengar kata-katanya, sembari membersihkan lensa yang penuh dengan debu. Angin bertiup sangat kencang hingga menerobos dinding kemeja hitam ‘pers’ yang ku pakai kini. Ku masukkan kamera ke dalam tas kecil yang ku bawa, dan melepaskan id card yang menggantung di leherku. Angin semakin kencang, ku telungkupkan kedua tanganku mencoba mengurangi rasa gigil yang semakin menjadi.

“Dingin?”

Suara Diga memecah suasana. Aku hanya mengangguk kecil, tak menjawab untuk yang kesekian kalinya. Kemudian Ia dengan cepat membuka jaketnya dan segera memberikannya padaku.

“Pakai ini. Kamu harus jaga kondisi. Seorang wartawan harus selalu fit.”

Lagi-lagi aku diam. Namun aku segera memakai jaketnya yang cukup besar untuk ukuranku. Kemudian aku diam lagi, enggan untuk memulai percakapan. Angin yang semakin besar kini datang dengan skala yang lebih besar dan lebih kencang. Namun gigilku lumayan berkurang, mungkin karena jaket yang ku pakai kini. Setetes air terasa di kepalaku. Ku tengadahkan kepalaku, air langit mulai turun dengan cepat. Hujan. Tanpa aba-aba. Aku dan Diga berteduh di teras sebuah toko yang sudah tutup. Hujan semakin deras, menjebakku di malam yang begitu dingin dan beku ini.

“Kenapa kamu nemuin aku tadi?” Akhirnya suaraku memulai percakapan, meski dengan perasaan yang tak karuan dan suara parau yang sengaja ku kecilkan volumenya.
“Entahlah… feeling aku bilang kamu butuh pertolongan.”
“Halah, sok tau.” Jawabku ketus meskipun jawaban ‘iya’ jelas-jelas bertengger di otakku. Aku mencoba menyembunyikan apa yang ku rasakan dan tak ingin ia tahu.
“Hmm… terserah sih, tapi ya emang itu kenyatannya.”
“Iya deh iya. Tapi makasih ya…”
“Makasihnya ke Allah, Ris. Allah yang ngasih rasa khawatir aku ke kamu dan nemuin kamu dalam keadaan hampir terlambat.”
“Iya Ga, iya…”
“Lain kali, kalau mau ngeliput Braga Festival tuh sore-sore aja, jangan sampai malem gini. Gak baik buat perempuan kalau sendirian.” Jelasnya dengan nada yang sedikit tinggi.

Suasana kembali hening. Hujan semakin deras. Dingin semakin memperdayaku. Tangan Diga kemudian dengan erat menggenggam kedua tanganku. Tanganku yang dingin, sedangkan kedua tangan Diga yang begitu hangat. Ku lihat pandangannya yang berbeda dengan laki-laki manapun yang pernah ku temui. Aku mencoba menenangkan perasaan yang entah mengapa tak dapat ku hentikan. Namun tiba-tiba rasa sesak datang padaku. Sesak dan pening yang melumpuhkan kekuatanku untuk berdiri.

“Rif… Rifka? Kamu baik-baik aja kan?” Tangan Diga mencoba merangkul tanganku yang semakin tak berdaya. Kini aku seperti berada entah dimana, namun dapat ku rasakan Diga memelukku. Kini aku berada dalam ketidakberdayaan, dan Diga yang mencoba menyadarkanku. Pandanganku semakin memburam, wajah Diga tak dapat lagi ku lihat. Gelap.

“Rifka?”

Suara itu masih dapat dengan jelas ku dengar, dan pelukkan Diga yang masih dapat ku rasakan. Detak jantungku melemah, dingin menjalar hingga ke ujung kakiku. Ku rasakan air hujan yang semakin membasahi tubuhku. Dalam dingin yang begitu larut, sedikitnya masih dapat ku rasakan tangan Diga menggenggam erat tangaku, dengan energi yang tak dapat ku jelaskan.

“Dimana aku berada?”
Bersambung…

0 comments:

Posting Komentar

 

Amirush Shaffa Fauzia Copyright © 2012 Design by Sandi Hidayat