Waktu berlalu dan semakin gelap.
Kini sudah memasuki malam, dan aku masih terjebak di dalamnya. Aku tak kunjung
menemukan jalan keluar, untuk berbalik arah pun sangat sulit di antara
orang-orang yang sedang dibombardir oleh musik yang begitu memekakkan telinga.
Sedikit demi sedikit kedua kakiku mulai kehilangan kekuatan. Aku hanya
mengikuti arus gerakan mereka, sedangkan aku tak memiliki daya untuk bergerak
bebas sedikit pun.
Ku lihat, langit begitu gelap.
Nafasku mulai tersengal dan kehilangan kendali untuk mengaturnya. Kepalaku
merasakan pusing luar biasa, namun aku tak dapat melakukan apapun. Aku begitu
panik, dan tak dapat mengendalikan apapun yang sedang terjadi. Buyar, semua
terasa buyar dan tak jelas lagi. Aku hanya mampu menangis karena tak dapat melakukan
apapun, tak ada orang yang ku kenal sama sekali di sekelilingku. Nafasku
semakin sesak, dan… Tiba-tiba terasa
olehku seseorang yang menarik tanganku. Dengan kuat, tangan itu menarik
lenganku hingga dapat membawa tubuhku keluar dari kerumunan orang yang begitu
banyak itu. Langkahku semakin dekat dengan pintu keluar. Mataku buram, tak
dapat melihat dengan jelas siapa yang sedang berhadapan denganku kini. Wajahku
masih dipenuhi dengan air mata panik, hingga seluruh tubuhku merasakan gemetar
hebat tak henti.
“Kamu ngapain disini?” tanya orang
itu, ketika aku sudah lumayan jauh dari keramaian. Suasana begitu gelap, hingga
aku tak dapat dengan jelas melihat wajahnya. Namun sepertinya, aku mengenal
suaranya yang tak asing di telingaku.
“Apa? Aku tak dapat mendengarmu.”
Teriaknya dengan jelas sambil mendekatkan kepalanya ke telingaku hingga menarik
kembali tangan kananku dengan lari kecil lumayan jauh, hingga akhirnya kami
berdua berhenti di suatu tempat yang cukup terang dan tak terlalu bising oleh
konser musik yang kini lumayan jauh dari langkah kami berdua.
“Diga?!” Refleks ku berteriak
ketika melihat seseorang itu membalikkan badannya ke arahku.
“Kenapa rif?” Tanyanya lembut,
sambil membungkukkan badannya tepat sepantar denganku.
“Kamu… kenapa disini? Ngapain?”
“Harusnya aku yang nanya. Kamu
ngapain disini? Gak seharusnya kamu disini, sendirian pula.”
“Aku cuma ngeliput aja.”
“Ngeliput? Sendirian? Kamu
perempuan Rif… gak seharusnya sendirian di tempat yang kaya gini.”
“Resiko jadi pers. Resiko jadi
wartawan. Resiko jadi paparazzi.”
Suasana hening, ia tak menjawab. Ku
ambil nafas panjang dan mengembuskannya keras. Air mataku mengalir lagi, masih
merasa trauma dengan kejadian yang baru ku alami, hampir kehilangan kendali
nafasku hanya dalam waktu beberapa detik. Namun tiba-tiba kedua tangan hangat
itu menyentuh pipiku, mencoba
menghapus air mata yang mengalir dari kedua mataku. Ku tengadahkan wajahku, ku lihat wajah Diga yang begitu hangat menyapa batinku. “Jangan nangis, kamu udah aman. Disini, sama aku.” Aku hanya mampu terdiam, tak dapat menjawab perkataannya, hanya anggukan kecil dan senyuman sebagai jawabannya.
menghapus air mata yang mengalir dari kedua mataku. Ku tengadahkan wajahku, ku lihat wajah Diga yang begitu hangat menyapa batinku. “Jangan nangis, kamu udah aman. Disini, sama aku.” Aku hanya mampu terdiam, tak dapat menjawab perkataannya, hanya anggukan kecil dan senyuman sebagai jawabannya.
Mata coklatnya menatapku dalam,
seolah mencari sesuatu yang sedang terjadi dalam hatiku. Aku memalingkan
wajahku, mencoba mencari kegiatan lain untuk mengalihkan pandangannya. Ku ambil
kamera yang sejak tadi menggantung di leherku dan melepaskannya.
“Hmm… pers. Tak mampu jauh dari
kamera, note dan bolpoin.”
Aku hanya tersenyum mendengar
kata-katanya, sembari membersihkan lensa yang penuh dengan debu. Angin bertiup
sangat kencang hingga menerobos dinding kemeja hitam ‘pers’ yang ku pakai kini.
Ku masukkan kamera ke dalam tas kecil yang ku bawa, dan melepaskan id card yang
menggantung di leherku. Angin semakin kencang, ku telungkupkan kedua tanganku
mencoba mengurangi rasa gigil yang semakin menjadi.
“Dingin?”
Suara Diga memecah suasana. Aku
hanya mengangguk kecil, tak menjawab untuk yang kesekian kalinya. Kemudian Ia
dengan cepat membuka jaketnya dan segera memberikannya padaku.
“Pakai ini. Kamu harus jaga
kondisi. Seorang wartawan harus selalu fit.”
Lagi-lagi aku diam. Namun aku
segera memakai jaketnya yang cukup besar untuk ukuranku. Kemudian aku diam
lagi, enggan untuk memulai percakapan. Angin yang semakin besar kini datang
dengan skala yang lebih besar dan lebih kencang. Namun gigilku lumayan
berkurang, mungkin karena jaket yang ku pakai kini. Setetes air terasa di
kepalaku. Ku tengadahkan kepalaku, air langit mulai turun dengan cepat. Hujan.
Tanpa aba-aba. Aku dan Diga berteduh di teras sebuah toko yang sudah tutup.
Hujan semakin deras, menjebakku di malam yang begitu dingin dan beku ini.
“Kenapa kamu nemuin aku tadi?”
Akhirnya suaraku memulai percakapan, meski dengan perasaan yang tak karuan dan
suara parau yang sengaja ku kecilkan volumenya.
“Entahlah… feeling aku bilang kamu
butuh pertolongan.”
“Halah, sok tau.” Jawabku ketus
meskipun jawaban ‘iya’ jelas-jelas bertengger di otakku. Aku mencoba
menyembunyikan apa yang ku rasakan dan tak ingin ia tahu.
“Hmm… terserah sih, tapi ya emang
itu kenyatannya.”
“Iya deh iya. Tapi makasih ya…”
“Makasihnya ke Allah, Ris. Allah
yang ngasih rasa khawatir aku ke kamu dan nemuin kamu dalam keadaan hampir
terlambat.”
“Iya Ga, iya…”
“Lain kali, kalau mau ngeliput
Braga Festival tuh sore-sore aja, jangan sampai malem gini. Gak baik buat
perempuan kalau sendirian.” Jelasnya dengan nada yang sedikit tinggi.
Suasana kembali hening. Hujan
semakin deras. Dingin semakin memperdayaku. Tangan Diga kemudian dengan erat
menggenggam kedua tanganku. Tanganku yang dingin, sedangkan kedua tangan Diga
yang begitu hangat. Ku lihat pandangannya yang berbeda dengan laki-laki manapun
yang pernah ku temui. Aku mencoba menenangkan perasaan yang entah mengapa tak
dapat ku hentikan. Namun tiba-tiba rasa sesak datang padaku. Sesak dan pening yang
melumpuhkan kekuatanku untuk berdiri.
“Rif… Rifka? Kamu baik-baik aja
kan?” Tangan Diga mencoba merangkul tanganku yang semakin tak berdaya. Kini aku
seperti berada entah dimana, namun dapat ku rasakan Diga memelukku. Kini aku
berada dalam ketidakberdayaan, dan Diga yang mencoba menyadarkanku. Pandanganku
semakin memburam, wajah Diga tak dapat lagi ku lihat. Gelap.
“Rifka?”
Suara itu masih dapat dengan jelas
ku dengar, dan pelukkan Diga yang masih dapat ku rasakan. Detak jantungku
melemah, dingin menjalar hingga ke ujung kakiku. Ku rasakan air hujan yang
semakin membasahi tubuhku. Dalam dingin yang begitu larut, sedikitnya masih
dapat ku rasakan tangan Diga menggenggam erat tangaku, dengan energi yang tak
dapat ku jelaskan.
“Dimana
aku berada?”
Bersambung…
0 comments:
Posting Komentar