Aku memutuskan untuk
berjalan-jalan keliling alun-alun kota sore ini. Tak lupa selalu ku bawa
kamera, note dan bolpoin yang ku simpan dalam ransel merah muda favoritku.
Siapa tahu, ada berita baru yang dapat ku liput dan dapat ku kirimkan ke
perusahaan media cetak dan elektronik tempat ku bekerja kini. Sepatu cat putih ku pakai dengan kaos biru muda
dan celana jeans keabu-abuan, tak lupa ku pakai jam tangan abu untuk menambah
kesan ‘santai’ di sore yang lumayan cerah ini.
Orang-orang sibuk
berlalu-lalang di jam pulang kerja, dan aku sendiri yang sibuk dengan kamera
dan mata yang siap-siap menangkap sunset yang
sebentar lagi akan mencapai primetime
nya. Ku langkahkan kaki menuju bibir jalan protokol kota dan berdiam sejenak
sambil meminum orange juice yang ku bawa dari rumah tadi.
Aku menikmati kesendirian ini. Aku menikmati bagaimana cara Tuhan
menempatkanku dalam keramaian, bagaimana aku ditempatkan dalam palung kesepian.
Biarkan aku begini, dengan luka dalam yang pernah ku alami. Biarkan angin yang
menghapusnya, bukan hati baru yang asing di hidupku.
Ku buka kembali
mataku setelah bercakap cukup lama dalam hatiku. Ya, aku menyukai kesendirian
seperti ini, tanpa ada seseorang yang lebih ku artikan dalam perjalanan
cintaku. Tanpa ada seseorang yang membuatku dapat merasakan indahnya jatuh
cinta. Atau, tanpa seseorang yang dapat membuatku jatuh sakit untuk kesekian
kalinya. Aku mencintai bagaimana hari ini, karena luka yang telah terjadi di
masa lampau. Lebih baik aku sendiri, meskipun sepi perlahan
membunuhku.
membunuhku.
“Kesendirian tak
selamanya membuatmu nyaman di peluknya. Suatu saat nanti kau yang akan
merasakannya sendiri, bahwa kesendirian itu memenjarakanmu dan membuat hatimu membeku.
Hingga suatu saat akan kau temui alasan mengapa aku berkata begini.”
Suara yang tak asing
menyapa kedua telingaku dan menyadarkanku dari lamunan panjang sejak tadi aku
duduk sendiri. Seseorang itu dapat ku rasakan kehadirannya, tanpa harus ku
melihatnya. Aku selalu menyukai wangi itu. Wangi khas dari tubuhmu yang selalu
ku rasakan ketika kau mendekap hangat tubuhku. Entah apa parfum yang kau pakai,
namun semua yang kau miliki dapat menghipnotisku dan mengajakku ke alam yang
berbeda. Lebih indah, tentunya.
“Diga? Ngapain
disini?” Suaraku setengah kaget mendapati seseorang yang tak ku sangka kini ada
di hadapanku.
“Engga kok, cuma
jalan-jalan sore aja. Hey, jangan ngelamun di pinggir jalan kayak gitu, gak
baik Rif.”
“Idih, siapa juga
yang ngelamun. Sok tau banget sih...”
“Aku yang sok tau
atau kamu yang pura-pura gak mau tau?”
“Ih. Udah-udah.
Mending kamu tinggalin aku sendiri...”
“Ninggalin kamu?
Sendirian? Udah mau gelap gini? Kamu mau kejadian minggu kemarin keulang lagi?”
“Hemh... Iya deh terserah. Eh, ga...”
“Apa?”
“Makasih ya...”
“Makasih? Untuk?”
“Untuk pertolongan
kamu minggu kemarin. Makasih banyak, aku gak tau harus ngapain buat ngebalesnya.”
“Udahlah, lupain aja.
Yang penting sekarang kamu udah sehat lagi, bisa ngeliput lagi, bisa senyum
lagi, bisa foto sunset lagi...” Suara lembutnya merasuk hingga membuat otakku
beku. Lagi, lagi dan lagi selalu ini yang ku rasakan ketika Diga ada di
hadapanku.
Hari mulai gelap, matahari mulai menyembunyikan tampaknya di barat. Aku
bergegas memasukan kamera ke dalam tas dan bersiap-siap untuk pulang.
Lampu-lampu jalan kota mulai menyala dan menampakkan pemandangan indah kota
seribu bunga ini. Aku berjalan santai menuju rumah sembari menikmati suara
lalu-lalang kendaraan yang tak henti berjalan. Diga mengikutiku dari belakang,
tanpa berkata dan hanya diam. Aku menghentikan langkahku, begitu juga dengan
Diga. Namun kemudian Diga berjalan beberapa langkah hingga tampak di hadapanku.
Tatapan dinginnya kembali mengoyak isi hatiku, mencoba menelusuri setiap puing
masa lalu yang ku simpan rapi dalam kotak hitam memoriku.
“Rif… masih nyamankah kamu dengan segala bentuk kesendirianmu?” Suara
lembutnya bagai petir yang menyambar tepat di hadapan wajahku. Entah bagaimana
suasana saat ini namun sepertinya Diga berhasil membaca mataku yang sengaja ku
sembunyikan darinya.
“Pertanyaan bodoh yang semestinya tak kau berikan untukku.” Jawabku
ketus.
“Aku memang bodoh, tapi aku cukup pintar untuk membaca apa yang kau
pikirkan sejak tadi. Atau mungkin, sejak minggu kemarin saat kita bertemu
kembali. Saat kau mulai memikirkanku saat kita pulang ke rumah masing-masing.
Kemarin.”
Rasanya aku ingin berteriak dan berlari sekuat mungkin untuk menjauh
darinya. Aku benci ketika Diga mulai diam-diam memperhatikan gerak-gerikku dan
menyimpulkan apa yang terjadi. Dan sialnya, ia selalu benar atas apa yang ku
rasakan. Aku ingin pergi, namun ternyata tanganku dipegang kuat oleh tangannya
yang mencoba menahan kepergianku.Hari semakin malam, angin bertiup semakin
kencang, dan suasana yang dingan semakin memperdayaku.
Kami bertatapan satu sama lain.
Aku dan dia. Tanpa ada yang lain. Hanya kami. Tatapan yang tak wajar, antara
benci dan keingintahuan yang berlebihan. Namun hanya kami yang tahu, sebelum
seorang yang lain datang dan…
“Diga? Ngapain kamu disini?” Suara milik perempuan yang terdengar dari
seberang. Suara dengan raut marah, dan mencoba memisahkan hujan dari langit
mendung malam ini. Ku menoleh ke
arahnya. Oh aku mengerti, ternyata kau.
Bersambung…
0 comments:
Posting Komentar