Semangkuk hot chocolate menemani
malam dingin tanpa bulan hari ini. Handphone selalu ku genggam meskipun tak ada
tanda-tanda ada kabar dari Diga. Sudah beberapa hari belakangan ini Diga tak
pernah lagi tiba-tiba hadir dan mengejutkanku ketika aku meliput berita. Atau,
sekedar sms pun tak ada sama sekali. Perlahan, aku mulai membenci detik-detik
dimana aku selalu melihat handphone hanya untuk memastikan inbox pesan darinya.
Aku lelah.
Setelah pertemuan malam itu,
pertemuan antara aku, Diga dan disusul seorang yang lain, entah mengapa Diga
tak pernah lagi hadir di depan mataku. Tiba-tiba menghilang, tiba-tiba seperti
tertelan bumi, dan tiba-tiba membuatku merindukannya. Merindukan tatapan tajam
yang selalu membuat hatiku terusik, namun nyaman akan kehadirannya.
Hari terus berlalu, dan Diga
yang juga tak pernah lagi mengabari atau menemuiku. Sudah beberapa kali aku
sengaja mencarinya ke tempat dimana ia selalu ditemui ketika tak ada lagi
tempat lain untuk menikmati ketenangan, namun tetap tak ada jawabnya. Nomor
handphonenya tak aktif, hingga membuatku hampir setengah putus asa
mencarinya. Mungkin aku terlalu banyak
memikirkan hal yang tak seharusnya ku pikirkan, hingga sudah beberapa minggu
ini aku absen dari kantor tempatku bekerja. Aku lebih banyak menghabiskan
hariku di kamar, karena kondisi tubuhku yang banyak memerlukan istirahat.
Diga. Mungkin nama itu mulai ku
hapuskan, namun tak dapat ku pungkiri, ialah penyebab terbesar lemahku kini.
Aku merasa mempunyai kekuatan lebih ketika ia ada di sampingku. Atau ketika
hanya sekedar pesan singkat kabarnya yang membuatku merasa lebih tenang. Kini,
semua telah berlalu. Kehadirannya yang selalu tiba-tiba ketika aku berada di
manapun, kini tak pernah lagi ada. Inbox handphoneku tak lagi penuh oleh
celotehan-celotehan tak masuk akalnya. Mungkin, inilah bagaimana cara untuk
melupakan. Aku harus bangkit, tak ada pilihan lain.
Hari ini ku putuskan untuk
kembali bekerja. Dengan wajah yang tersenyum, namun dengan hati yang rapuh. Aku
selalu menyembunyikan apapun sakitku kepada siapapun, tak terkecuali sahabatku
sendiri. Pukul 6.55, hanya tinggal 5 menit lagi duniaku akan padat dengan
berbagai pekerjaan kantor. Sesampainya di kantor, aku menghela nafas cukup
panjang sebelum membuka pintu ruangan tempatku bekerja. Aku harap aku akan
baik-baik saja, bagaimanapun itu.
Ku buka pintu perlahan, dan
mulai masuk ke dalamnya. Tak ada apa-apa. Persis seperti saat aku meninggalkan
ruangan ini beberapa minggu lalu. Ku langkahkan kakiku menuju meja kerjaku, dan
sudah terlihat tumpukan tinggi berkas-berkas tugas yang harus ku selesaikan
akibat dari absenku yang cukup lama. Pikiranku belum mendapati titik terang
maupun semangat untuk menyelesaikan tugas-tugas kewajibanku. Namun bagaimanapun
kendalanya, aku harus tetap menyelesaikannya. Atau, aku yang akan kehilangan
pekerjaan yang aku cintai ini.
Ku coba merapikan satu persatu
tumpukan kertas yang berserakan di atas meja kerjaku. Namun tiba-tiba beberapa
amplop terjatuh ketika aku hendak membuka file berisikan berkas tugas baru.
Lumayan banyak amplop yang terjatuh, segera ku ambil dan ku buka satu per satu.
Seketika dingin menjalar
tubuhku. Aku terhenyak ketika mendapati nama sang pengirim. Deg. Diga Niwayana.
“Aku merindukanmu. Dimanakah kau
kini?”
Isi surat tanpa titimangsa,
pembuka, maupun penutup. Hanya beberapa rangkaian kata. 2 kalimat singkat,
namun cukup membuatku merasakan senang-kaget- dingin-sesak-memaku secara
bersamaan. Aku terdiam cukup lama membaca surat singkat itu. Pikiranku
melayang. Bukankah harusnya aku yang bertanya seperti itu?
Bersambung…
0 comments:
Posting Komentar