Rabu, 31 Oktober 2012

Antara Aku, Kau, dan... (Part II)

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 10.17 0 comments
Aku memutuskan untuk berjalan-jalan keliling alun-alun kota sore ini. Tak lupa selalu ku bawa kamera, note dan bolpoin yang ku simpan dalam ransel merah muda favoritku. Siapa tahu, ada berita baru yang dapat ku liput dan dapat ku kirimkan ke perusahaan media cetak dan elektronik tempat ku bekerja kini. Sepatu cat putih ku pakai dengan kaos biru muda dan celana jeans keabu-abuan, tak lupa ku pakai jam tangan abu untuk menambah kesan ‘santai’ di sore yang lumayan cerah ini.

Orang-orang sibuk berlalu-lalang di jam pulang kerja, dan aku sendiri yang sibuk dengan kamera dan mata yang siap-siap menangkap sunset yang sebentar lagi akan mencapai primetime nya. Ku langkahkan kaki menuju bibir jalan protokol kota dan berdiam sejenak sambil meminum orange juice yang ku bawa dari rumah tadi.

Aku menikmati kesendirian ini. Aku menikmati bagaimana cara Tuhan menempatkanku dalam keramaian, bagaimana aku ditempatkan dalam palung kesepian. Biarkan aku begini, dengan luka dalam yang pernah ku alami. Biarkan angin yang menghapusnya, bukan hati baru yang asing di hidupku.

Ku buka kembali mataku setelah bercakap cukup lama dalam hatiku. Ya, aku menyukai kesendirian seperti ini, tanpa ada seseorang yang lebih ku artikan dalam perjalanan cintaku. Tanpa ada seseorang yang membuatku dapat merasakan indahnya jatuh cinta. Atau, tanpa seseorang yang dapat membuatku jatuh sakit untuk kesekian kalinya. Aku mencintai bagaimana hari ini, karena luka yang telah terjadi di masa lampau. Lebih baik aku sendiri, meskipun sepi perlahan

Rabu, 10 Oktober 2012

Antara Aku, Kau, dan...

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 21.31 0 comments

Waktu berlalu dan semakin gelap. Kini sudah memasuki malam, dan aku masih terjebak di dalamnya. Aku tak kunjung menemukan jalan keluar, untuk berbalik arah pun sangat sulit di antara orang-orang yang sedang dibombardir oleh musik yang begitu memekakkan telinga. Sedikit demi sedikit kedua kakiku mulai kehilangan kekuatan. Aku hanya mengikuti arus gerakan mereka, sedangkan aku tak memiliki daya untuk bergerak bebas sedikit pun.

Ku lihat, langit begitu gelap. Nafasku mulai tersengal dan kehilangan kendali untuk mengaturnya. Kepalaku merasakan pusing luar biasa, namun aku tak dapat melakukan apapun. Aku begitu panik, dan tak dapat mengendalikan apapun yang sedang terjadi. Buyar, semua terasa buyar dan tak jelas lagi. Aku hanya mampu menangis karena tak dapat melakukan apapun, tak ada orang yang ku kenal sama sekali di sekelilingku. Nafasku semakin sesak, dan…  Tiba-tiba terasa olehku seseorang yang menarik tanganku. Dengan kuat, tangan itu menarik lenganku hingga dapat membawa tubuhku keluar dari kerumunan orang yang begitu banyak itu. Langkahku semakin dekat dengan pintu keluar. Mataku buram, tak dapat melihat dengan jelas siapa yang sedang berhadapan denganku kini. Wajahku masih dipenuhi dengan air mata panik, hingga seluruh tubuhku merasakan gemetar hebat tak henti.

“Kamu ngapain disini?” tanya orang itu, ketika aku sudah lumayan jauh dari keramaian. Suasana begitu gelap, hingga aku tak dapat dengan jelas melihat wajahnya. Namun sepertinya, aku mengenal suaranya yang tak asing di telingaku.
“Apa? Aku tak dapat mendengarmu.” Teriaknya dengan jelas sambil mendekatkan kepalanya ke telingaku hingga menarik kembali tangan kananku dengan lari kecil lumayan jauh, hingga akhirnya kami berdua berhenti di suatu tempat yang cukup terang dan tak terlalu bising oleh konser musik yang kini lumayan jauh dari langkah kami berdua.
“Diga?!” Refleks ku berteriak ketika melihat seseorang itu membalikkan badannya ke arahku.
“Kenapa rif?” Tanyanya lembut, sambil membungkukkan badannya tepat sepantar denganku.
“Kamu… kenapa disini? Ngapain?”
“Harusnya aku yang nanya. Kamu ngapain disini? Gak seharusnya kamu disini, sendirian pula.”
“Aku cuma ngeliput aja.”
“Ngeliput? Sendirian? Kamu perempuan Rif… gak seharusnya sendirian di tempat yang kaya gini.”
“Resiko jadi pers. Resiko jadi wartawan. Resiko jadi paparazzi.”

Suasana hening, ia tak menjawab. Ku ambil nafas panjang dan mengembuskannya keras. Air mataku mengalir lagi, masih merasa trauma dengan kejadian yang baru ku alami, hampir kehilangan kendali nafasku hanya dalam waktu beberapa detik. Namun tiba-tiba kedua tangan hangat itu menyentuh pipiku, mencoba

Minggu, 07 Oktober 2012

Tanpa Isyarat, Tanpa Ikatan

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 21.24 0 comments

Siapa yang salah? Rasanya tak ada yang salah dan tak ada yang perlu dipersalahkan.
Kau, disana. Aku, disini. Dengan kuasa Tuhan, kita bertemu.
Rasanya terlalu cepat rasa ini tumbuh dan liar di antara kita. Aku dan kamu saling merasakan, namun hanya diam dan mencoba saling menyembunyikan. Aku dan kamu saling tahu, tapi tak berkenan untuk saling memberitahu.

Kita menjalani hari-hari dengan suasana yang baru dan berbeda dari sebelum saling mengenal dan mengisi satu sama lain. Hingga suatu saat, kita berjanji dan melingkarkan kedua jari terkecil kita masing-masing. Tanpa isyarat, tanpa ikatan.
Hingga kini, kau jaga sebuah janji yang ‘katanya’ takkan kau ingkari.

Namun… sepertinya ada yang salah. Ketika seorang yang lain mulai merasuki duniamu dan melumpuhkan kedua kakimu untuk bergerak lari. Aku hanya mampu melihat, tak mampu berkata. Aku tak mampu melakukan apapun. Untukmu, tentunya.
Aku hanya dapat menggenggam jari dan tanganku sendiri tanpa membaginya pada siapa pun. Aku sepenuhnya sadar, tak dapat melakukan apapun untukmu ketika dia mulai menarikmu kembali untuk dunianya. Hak apa yang kumiliki? Tak ada, seujung jari pun tak ada. Hanya karena kita ‘dekat’ dan merasakan hal yang sama? Itu tak cukup, tak cukup untuk meyakinkan kita berada dalam jalan yang sama.

Hingga kini, tak ada ikatan dan status yang jelas di antara kita. Tak ada suatu kata atau kejadian yang menyuruhku untuk mempertahankan segalanya. Kita mengalir, dengan segala yang kita miliki. Tanpa paksaan, dan hanya masih menerka-nerka perasaan satu sama lain. Aku berdiri bersamamu. Jika kini ada yang lain menarikmu untuk pergi, apa hakku untuk mempertahankanmu?
Sudah ku bilang sejak awal. “Setia itu sulit”. Ya? :’)

Jika kini dia menginginkanmu kembali dan kau pun lemah karena ucapannya, mengapa tidak?
Aku. Aku bukan siapa-siapa, kita baru saling mengenal, baru merasakan akar-akar dari rasa yang belum tumbuh tinggi. Sedangkan dia? Dia yang pernah mengisi hatimu, pernah menjadi bagian dari cerita masa lalumu, pernah mengukir cerita bersama hidupmu. Dia yang mungkin lebih mengertimu daripada aku. Dia memaksamu dan tak membiarkanmu untuk bersamaku, juga kau yang mencoba mengerti keadaannya. Aku paham, ini bukan porsiku. Aku tahu. Aku mengerti.

Aku hanya mampu tersenyum mendapati kau yang seolah-olah kembali terbuai oleh masa lalumu.

Hai kau, jika harus kau yang membagi perasaanmu untukku dan untuknya, aku tak pernah bisa. Pergilah bersamanya, habiskan dan berikan seutuhnya cintamu untuknya, bersama dia yang pernah menjadi segalanya untukmu dulu. Jangan kau sangkut-pautkan aku dengan segala perasaanku dan kehadirannya. Jika kau mampu meyakinkannya, aku pun akan meyakinkanmu bahwa aku akan baik-baik saja. Tak perlu masalahkan ini, hanya perlu langkahkan kakimu seirama dengannya. Dan biarkanlah aku dengan segala luka yang kini membuatku berdiri.

Terimakasih telah memberikan luka yang begitu membuatku tak percaya arti dari kekuatan sebuah janji, dari sebuah pengkhianatan yang terlampau jauh untuk diingkari. Terima kasih, meskipun aku tak tahu harus berterima kasih untuk apa. Mungkin untukmu yang telah berhasil membuatku membuka celah kecil dalam hatiku, dan akhirnya kini harus ku tutup rapat-rapat, sampai aku menemukan seseorang yang benar-benar membawakan untukku arti dari sebuah janji yang seutuhnya. Tanpa pengkhianatan, tentunya.

Sabtu, 06 Oktober 2012

Tanah Air--Kita

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 21.21 0 comments

“Tema lombanya tentang apa?”
“Tanah air, dan semua yang berhubungan dengan perjuangan di masa penjajahan.”
“Tanah air? Hmm…”
“Iya, kenapa emang?”
“Satu kesatuan yang utuh. Coba kalau masing-masing. Tanah ya cuma tanah, air ya cuma air. Kalau tanah air? Sesuatu yang berarti lebih, bahkan lebih dari definisi sebelumnya.”
“Iya ya…”
“Sama kaya aku sama kamu. Aku ya aku, kamu ya kamu. Kalau aku sama kamu jadi kita? Bakal lebih… Lebih indah dari sekedar kita masing-masing.”
*muntah bambu runcing*
=))
September 2012
Rindam III, Lomba PENTA glb.2

Senin, 01 Oktober 2012

Haruskah?

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 14.37 0 comments


Bertemu untuk berpisah, atau bertemu untuk bersama?
Kita dipertemukan untuk dipisahkan, atau kita dipertemukan untuk bersama?

Kau tahu, mengapa Tuhan memperkenalkan kalian? Mengapa Tuhan mempertemukan kalian? Mengapa Tuhan memberikan rasa yang berbeda di antara kalian? Dan mengapa Tuhan menakdirkan kalian untuk saling berhadapan sekarang?

Padahal sebelum ini, kalian saling acuh. Tak saling bertatap, tak saling berjabat tangan, tak saling tersenyum, dan tak saling mengenal satu sama lain.

Kalian bertemu, saling mengenal, saling bercerita, saling berbagi, saling diam, dan saling... jatuh cinta.

Merasakan segala rasa bersama, menerima kenyataan bersama, menghadapi dunia bersama. Melewati waktu bersama menghadapi rintang dalam hening. Bertahan dalam perih, bersama dalam bahagia. Pahit bersama, manis bersama. Genggaman tangan itu menguatkan langkah yang sering terjatuh, langkah yang sempat terhambat, dan langkah yang sempat terluka.

Namun kini, haruskah kata ‘perpisahan’ menjadi jalan akhir dari sebuah perjalanan? Perjalanan yang belum, atau mungkin yang takkan berakhir?
Haruskah semuanya berakhir?
Haruskah semua berlalu bersama angin? Haruskah berakhir bersama ombak yang pernah menjadi saksi janji suci?

Haruskah? Haruskah jalan perpisahan ditempuh dalam hati yang tak dapat dipisahkan?
Pejamkan matamu, selami hatimu…
Ingatkah kau ketika pertama kali bertemu dengannya?
Ingatkah ketika kalian saling mengenal?
Ketika saling bercerita, ketika saling berbagi, ketika tersenyum ketika menemukan banyak hal yang sama dalam diri kalian?
Ingatkah saat saling mencuri pandang? Saat debar jantung lebih cepat ketika saling bertemu?
Ingatkah ketika mulai merindukannya dan tak tenang saat jauh darinya?
Ingatkah saat kau diam, berlutut, dan memohon pada Tuhan untuk memilikinya?
Ingatkah saat Tuhan mengabulkan permintaanmu, dan berjanji dengan saksi indah di bawah sinar rembulan? Ingatkah ketika kau menghapus air mata bahagianya?

Dan kini, kau membiarkan air mata dengan meninggalkan luka yang dalam, membiarkannya berjalan sendiri dalam gelap, mengacuhkan rasa yang pernah hadir dan mengisi hidup yang pernah tak berarti.
Ingatlah ketika kau jatuh cinta padanya mengalahkan rasa apapun yang pernah ada.
Tak ingatkah kau pada ikrar ketika saling mencintai?
Sadarkah kau? Air mata terjatuh pada orang-orang yang tak menginginkan kalian berpisah. Mereka, mereka tak yakin. Tak yakin kau dapat berdiri sendiri, maupun dirinya. Kalian saling menguatkan, dan selalu hampa tanpa salah satunya.

Ketidaksetiaan menghancurkan segala mimpi yang kalian bangun bersama.
Kau. Mengapa kau berani berkomitmen jika kau berani berkhianat? Mengapa kau berani berjanji jika akhirnya harus diingkari? Mengapa kau berani mencintai jika hanya untuk menyakiti? Mengapa kau berani mengukir cinta jika masih menggoreskan luka?
Kau berani berkomitmen, berarti kau berani menjaga sebuah kepercayaan. Kau berani berjanji, kau mampu untuk tak mengingkari. Kau berani meminta dirinya pada Tuhan, kau berani menjaganya. Dan kau berjanji mencintainya, berarti kau mampu untuk menjaga hatinya.

Kerikil kecil dan badai besar akan selalu ada, perbedaan selalu terjadi, rasa ketidak cocokan selalu menghantui, dan ego yang selalu menabrakkan diri. Namun sadarkah kalian? Tuhan memberikan segala rasa untuk tetap mempersatukan kalian dalam keadaan apapun. Semakin banyak rintang yang kalian hadapi, semakin kuat pula rasa memiliki yang kalian yakini. Kepercayaan penuh, kepercayaan yang tetap teguh, kepercayaan yang takkan termakan oleh waktu.

Kau dan dia bukan menjadi dua kata yang saling terpisah, namun satu. Menjadi kalian.
Sadarlah, Tuhan mempertemukan kalian bukan untuk alasan yang kosong. Kalian dipertemukan untuk bersatu, bukan untuk berpisah.

Tuhan menciptakan wanita dari tulang rusuk pria, dan pria yang kehilangan satu tulang rusuknya untuk menciptakan makhluk pasangannya. Takkan berpisah, takkan terpisah.
Kalian. Sepasang manusia yang Tuhan ciptakan dengan penuh cinta.


Amirush Shaffa Fauzia
121001
Teruntuk kalian, kedua sahabat yang selalu aku cintai.


 

Amirush Shaffa Fauzia Copyright © 2012 Design by Sandi Hidayat