Kamis, 07 Februari 2013

Kehilangan

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 14.48

Aku berjalan menyusuri keramaian dengan langkah hampa. Kepalaku tertunduk, mataku sedikit terpejam. Kedua tangan ku susupkan dan ku biarkan mereka hangat di balik kantung sweater woll hitamku. Desah nafas tak tenang dapat terdengar dengan jelas merambat di saraf telingaku. Cairan bening dan dingin yang terasa karenanya kini dengan cepat menggumpal di kedua sudut mataku.

Inikah rasanya ‘kehilangan’?

Desir darah yang terbiasa dengan kehadiranmu, pikiran yang selalu tertuju padamu ketika aku terjaga dari tidur lelapku, mata yang tak pernah berpaling untuk menatapmu, tangan yang tak pernah lepas dari genggaman eratmu, dan hati… yang tak pernah siap untuk kehilanganmu. Menyadari ketiadaanmu… membuat hatiku terangkat dan tenggorokanku tercekat dengan cepat. Secepat inikah harus ku relakan apa yang menjadi separuh nafasku?

Siang ini matahari enggan untuk menampakkan dirinya. Ia lebih memilih untuk bersembunyi dan cuti dari dunia bagian dimana tempatku berdiri kini. Awan mendung merajai dengan air langit yang lama-kelamaan mulai menyusupi hawa beku karenanya. Tak peduli seberapapun air yang membuat pakaianku lebih berat karena basah, aku melanjutkan langkahku dan tak pernah acuh terhadap apapun yang terjadi. Jam tanganku bergerak sangat lambat. Detik demi detik ku rasakan seperti siksaan yang tak kunjung mereda. Kursi kayu yang basah menarik pandanganku. Ku arahkan langkahku dan terdiam di atasnya. Menyadari kembali separuh hati yang melayang bersama kepergiannya.

“Tuhan, ku mohon jagalah ia…”

Aku belajar bagaimana aku harus merelakan apa yang sudah menjadi bagian dari nafasku setiap detiknya. Aku belajar bagaimana aku harus menerima kenyataan yang sama sekali tak pernah ku sangka akan merubah hidupku yang ternyata begitu berbeda tanpanya. Aku belajar bagaimana untuk berdiri dan tersenyum meski tak berada di sampingnya. Dan aku belajar bagaimana aku harus melepaskan apa yang semestinya aku hapuskan, meski aku tak pernah rela untuk hidup tanpanya.

Biarkan kini aku berdiri melawan waktu untuk melupakanmu. Walau pedih hati, namun ku bertahan. Dan biarkan cinta ini hidup untuk sekali ini saja – Glenn Fredly.

Rasanya terlalu cepat kau mengambil alih seluruh hati dan perasaanku yang sempat terkunci rapat sebelumnya. Kau yang dapat meluluhkan, dan kini kau pula yang mampu membekukan. Bisakah ku putar waktu? Bisakah? Atau hanya untuk sekedar menghadirkanmu kembali disini. Dapatkah?

Dengan cepat Tuhan mengambilmu seiring dengan luka yang tak kunjung mengering dalam hatiku. Tuhan sungguh memelukmu, meraba sudut hati yang hampir mati dengan segala memori yang terkenang dan takkan bisa dengan cepat menghilang bersama hembusan lembut angin yang menyapa setiap malammu. Tak sadar dalam setiap larut malam selalu ku terjaga dan bangun dari lelapku. Rutin melihat keadaan yang sebenarnya tak kunjung berubah. Namun salahkah aku yang masih berharap?

Suara dan kilatan petir menggugah lamunan panjangku. Pikiranku kosong, entah kemana perginya mereka yang seharusnya menjadi keharusanku siang ini. Kedua tangan ku telungkupkan menutupi wajahku, sedikit menghapus air hujan yang sejak tadi menemani kesendirianku. Seakan semua memori kembali berputar dan tak henti membuatku merasa tersiksa. Letih meski telah ku coba melabuhkan segala rasa. Kehilangan. Ya, baru saja aku merasakan rasa pedih itu. Rasa yang selalu mereka hindari namun usaha yang tak pernah kunjung berhasil. Rasa sepi yang tak juga pergi sejak itu, membantuku untuk menyadari “Jangan pernah kau sia-siakan apapun yang selama ini tak nampak keberadaannya karena terbiasa dengannya. Ketika...

ia pergi, barulah nampak berarti di matamu. Terlebih, hatimu.”

Aku tergugah. Waktu semakin larut. Ku ambil nafas panjang dan mengeluarkannya dengan lembut. Dengan segera ku beranjak dari kursi kayu basah yang sejak tadi mempersilahkanku untuk larut dalam kesendirian. Seketika batinku terhenyak, kaget mendapati seseorang yang tiba-tiba hadir di belakangku dan menepuk bahuku dengan memanggil nama lengkapku. Pelan, ku balikkan badanku menghadapnya masih dengan perasaan kalut dan tetap diam. Namun tiba-tiba seseorang itu memelukku, mencoba menguatkanku yang tak lagi bisa menahan air mata yang terjatuh dengan sendirinya. “Aku ada untukmu. Akan selalu ada untukmu. Jangan khawatir. Aku. Disini. Untukmu.” Bisiknya dengan suara yang tak asing di telingaku. Dan aku sadar, Tuhan begitu adil. Ia tahu apa yang kini dapat membuatku merasa mampu menatap kembali dunia yang sempat menghilang untuk beberapa waktu silam. Tuhan tak pernah tidur.

Untuk siapapun yang pernah mengubur perih dengan taburan pedih bersama alunan waktu, dalam suatu kumpulan air mata yang bernama kehilangan.


Dalam satuan luka hingga perasaan yang tak dapat dimengerti,
dengan embun dan segenap nadi yang dialiri darah rindu dalam setiap hembus nafasnya.
Amirush Shaffa Fauzia
130206

0 comments:

Posting Komentar

 

Amirush Shaffa Fauzia Copyright © 2012 Design by Sandi Hidayat