Aku berjalan menyusuri keramaian
dengan langkah hampa. Kepalaku tertunduk, mataku sedikit terpejam. Kedua tangan
ku susupkan dan ku biarkan mereka hangat di balik kantung sweater woll hitamku.
Desah nafas tak tenang dapat terdengar dengan jelas merambat di saraf
telingaku. Cairan bening dan dingin yang terasa karenanya kini dengan cepat
menggumpal di kedua sudut mataku.
Inikah
rasanya ‘kehilangan’?
Desir darah yang terbiasa dengan
kehadiranmu, pikiran yang selalu tertuju padamu ketika aku terjaga dari tidur
lelapku, mata yang tak pernah berpaling untuk menatapmu, tangan yang tak pernah
lepas dari genggaman eratmu, dan hati… yang tak pernah siap untuk kehilanganmu.
Menyadari ketiadaanmu… membuat hatiku terangkat dan tenggorokanku tercekat
dengan cepat. Secepat inikah harus ku relakan apa yang menjadi separuh nafasku?
Siang ini matahari enggan untuk
menampakkan dirinya. Ia lebih memilih untuk bersembunyi dan cuti dari dunia
bagian dimana tempatku berdiri kini. Awan mendung merajai dengan air langit
yang lama-kelamaan mulai menyusupi hawa beku karenanya. Tak peduli seberapapun
air yang membuat pakaianku lebih berat karena basah, aku melanjutkan langkahku
dan tak pernah acuh terhadap apapun yang terjadi. Jam tanganku bergerak sangat lambat.
Detik demi detik ku rasakan seperti siksaan yang tak kunjung mereda. Kursi kayu
yang basah menarik pandanganku. Ku arahkan langkahku dan terdiam di atasnya.
Menyadari kembali separuh hati yang melayang bersama kepergiannya.
“Tuhan,
ku mohon jagalah ia…”
Aku belajar bagaimana aku harus
merelakan apa yang sudah menjadi bagian dari nafasku setiap detiknya. Aku
belajar bagaimana aku harus menerima kenyataan yang sama sekali tak pernah ku
sangka akan merubah hidupku yang ternyata begitu berbeda tanpanya. Aku belajar
bagaimana untuk berdiri dan tersenyum meski tak berada di sampingnya. Dan aku
belajar bagaimana aku harus melepaskan apa yang semestinya aku hapuskan, meski
aku tak pernah rela untuk hidup tanpanya.
Biarkan
kini aku berdiri melawan waktu untuk melupakanmu. Walau pedih hati, namun ku
bertahan. Dan biarkan cinta ini hidup untuk sekali ini saja – Glenn Fredly.
Rasanya terlalu cepat kau mengambil
alih seluruh hati dan perasaanku yang sempat terkunci rapat sebelumnya. Kau
yang dapat meluluhkan, dan kini kau pula yang mampu membekukan. Bisakah ku putar
waktu? Bisakah? Atau hanya untuk sekedar menghadirkanmu kembali disini.
Dapatkah?
Dengan cepat Tuhan mengambilmu
seiring dengan luka yang tak kunjung mengering dalam hatiku. Tuhan sungguh
memelukmu, meraba sudut hati yang hampir mati dengan segala memori yang
terkenang dan takkan bisa dengan cepat menghilang bersama hembusan lembut angin
yang menyapa setiap malammu. Tak sadar dalam setiap larut malam selalu ku
terjaga dan bangun dari lelapku. Rutin melihat keadaan yang sebenarnya tak
kunjung berubah. Namun salahkah aku yang masih berharap?
Suara dan kilatan petir menggugah
lamunan panjangku. Pikiranku kosong, entah kemana perginya mereka yang
seharusnya menjadi keharusanku siang ini. Kedua tangan ku telungkupkan menutupi
wajahku, sedikit menghapus air hujan yang sejak tadi menemani kesendirianku.
Seakan semua memori kembali berputar dan tak henti membuatku merasa tersiksa. Letih
meski telah ku coba melabuhkan segala rasa. Kehilangan. Ya, baru saja aku merasakan
rasa pedih itu. Rasa yang selalu mereka hindari namun usaha yang tak pernah
kunjung berhasil. Rasa sepi yang tak juga pergi sejak itu, membantuku untuk
menyadari “Jangan pernah kau sia-siakan
apapun yang selama ini tak nampak keberadaannya karena terbiasa dengannya.
Ketika...
ia pergi, barulah nampak berarti di matamu. Terlebih, hatimu.”
ia pergi, barulah nampak berarti di matamu. Terlebih, hatimu.”
Aku tergugah. Waktu semakin larut.
Ku ambil nafas panjang dan mengeluarkannya dengan lembut. Dengan segera ku
beranjak dari kursi kayu basah yang sejak tadi mempersilahkanku untuk larut
dalam kesendirian. Seketika batinku terhenyak, kaget mendapati seseorang yang
tiba-tiba hadir di belakangku dan menepuk bahuku dengan memanggil nama
lengkapku. Pelan, ku balikkan badanku menghadapnya masih dengan perasaan kalut
dan tetap diam. Namun tiba-tiba seseorang itu memelukku, mencoba menguatkanku yang
tak lagi bisa menahan air mata yang terjatuh dengan sendirinya. “Aku ada
untukmu. Akan selalu ada untukmu. Jangan khawatir. Aku. Disini. Untukmu.”
Bisiknya dengan suara yang tak asing di telingaku. Dan aku sadar, Tuhan begitu
adil. Ia tahu apa yang kini dapat membuatku merasa mampu menatap kembali dunia
yang sempat menghilang untuk beberapa waktu silam. Tuhan tak pernah tidur.
Untuk siapapun yang pernah mengubur
perih dengan taburan pedih bersama alunan waktu, dalam suatu kumpulan air mata
yang bernama kehilangan.
Dalam
satuan luka hingga perasaan yang tak dapat dimengerti,
dengan
embun dan segenap nadi yang dialiri darah rindu dalam setiap hembus nafasnya.
Amirush
Shaffa Fauzia
130206
0 comments:
Posting Komentar