“Yang aku takutin
selama ini cuma takut kehilangan kamu, itu aja Ta. Tapi kenapa sekarang semua
itu terjadi? Walaupun aku gak pernah milikin kamu tapi aku takut banget…
Aku rindu senyuman
kamu.
Aku rindu di ingetin
sholat.
Aku rindu kita lagi
main adu ayam.
Aku rindu Ta semua
tentang kamu.
Kenapa kamu pergi
begitu cepat Ta?
Aku pengen banget
denger suara kamu sekarang.
Kamu lagi apa sama
siapa?
Apa bisa aku meminang
kamu di Jerman?
Apa kamu bisa tepatin
janjinya?”
**
Sepenggal kata dari 2 halaman surat yang kau berikan untukku
saat pelajaran terakhir hari ini. Surat yang tiba-tiba kau berikan pada saat
pelajaran Bahasa Indonesia Jum’at siang tepat pada pukul 11. Surat yang awalnya
kau yakini tak dapat ku baca dan ku pahami karena tulisan bersambungmu. Tapi
Tuhan mengizinkanku untuk memahaminya. Aku paham… goresan demi goresan tinta
yang kau tulis genap seminggu silam. Tawaku terpancar, namun tepat di kalimat
akhir… bulir bening itu akhirnya terjatuh tepat di kertasmu. Entahlah, berbagai
pertanyaan dan pernyataan hadir di benakku saat ku mulai membaca kalimat demi
kalimat yang kau tuliskan di atas kertas putih bergaris biru itu. Tulisan
miring bersambung yang mungkin takkan dimengerti tanpa hati.
Aku masih tetap duduk dan terpaku di tempatku. Kertas yang
kau berikan masih ku genggam dan ku bolak-balikkan di atas meja tempatku
menghadap kini. Sejenak, ku hirup udara lebih banyak dari biasanya dan ku
hempaskan dalam-dalam. Tulisanmu masih menyimpan banyak tanya di benakku. Namun
tiba-tiba langkah hadirmu menggugahku. Dengan segera aku menutup kertas dan
menyelipkannya di tengah buku tulis yang ada di hadapanku. Kau terbelingah. Kau
tak tahu. Dan aku pun segera menyajikan hal lain dari sesuatu yang baru saja ku
alami. Aku menyembunyikannya di hadapanmu. Ku sembunyikan tapak mata dan
dinginnya tetes air yang terjatuh karenanya. Ternyata kaupun menulisnya dengan
air mata? Berhasil, kau membuatku membacanya dengan air mata pula.
“Itu tulisannya belum selesai. Keburu berkaca-kaca dan yaaa
gitulah. Langsung aja aku izin ke kamar mandi terus gak balik ke kelas lagi.
Hehe..” Sepotong percakapan yang membuatku sedikit menyunggingkan tawa saat kau
mengantarkanku pulang tadi. Aku menangkap sesuatu dari tatapan matamu. Crap. Aku tahu sesuatu kini.
“Apa kamu udah lupa
sama janji kita?”
Kalimat yang kau tuliskan di tengah paragraf suratmu.
Tidak, aku tak pernah lupa. Kau tahu mengapa suratmu tak
rampung kau selesaikan? Tuhan menyuruhmu merampungkannya saat kita bertemu
nanti, sesuai dengan apa yang kita ucapkan bersama. Kita selesaikan surat itu
nanti, disana. Bersama.
Ku hapuskan segala pertanyaan yang hadir tak menentu sejak
tadi. Segera ku langkahkan kakiku menuju rumah dan mencoba melupakan pernyataan
yang tak terjabarkan keberadannya. Namun seiring langkahku, pikiranku melayang
kini. Masih ada satu pertanyaan yang tersisa dalam benakku yang menghentikan
langkahku sebelum ku mengetuk dan membuka pintu rumah. Pertanyaan yang datang secepat
kilat dan tiba-tiba datang menghampiri pikiranku. “Dalam ucapanmu untuk
menunggu 8 tahun kemudian… Dapatkah kau setia?”
0 comments:
Posting Komentar