Aku suka. Ketika hujan mulai turun di sore hari dengan deras dan
meluluh lantahkan kekuatan para insan dunia. Sejak dahulu, aku suka. Aku selalu
ingat, ketika pertama kalinya aku jatuh cinta dengan hujan karena bermain-main
dengannya dan merasakan sentuhan lembutnya ketika aku berumur 7 tahun di bulan
November. Dan kini, aku suka. Ketika aku
dapat merasakan satu per satu air langit yang terjatuh ke telapak tanganku yang
tersembunyi di bawah koridor sekolah. Aku suka. Ketika udara yang lebih dingin membekukan
aliran darah meskipun hanya sekejap. Aku suka. Karena mereka dapat mengukir
senyum yang lebih lama dari biasanya.
Hujan sore ini begitu deras, dan
lagi-lagi aku terjebak di koridor sekolah. Jam tanganku menunjukkan pukul 4
sore. Aku belum pulang karena tugas kelompok yang harus segera dirampungkan
bersama sahabatku, Sandi. Hujan kali ini
begitu membuat tubuhku luluh karena dingin yang lebih dari biasanya. Seperti
biasa, aku tak membawa jaket atau sweater. Aku terpaksa harus menahan rasa
gigilku sampai hujan reda dan tugas kelompok itu selesai.
Hujan tak kunjung reda. Aku mulai
khawatir aku akan tiba di rumah lebih lama. Dan aku khawatir tak akan ada
matahari di penghujung senja yang dingin ini. Waktu terus berjalan, namun air
itu tak kunjung berhenti turun. Detik demi detik berlalu, kini jam menunjukkan
pukul 5. Kekhawatiran itu mulai sirna seiring dengan air hujan yang mulai
berkurang dan mempersilahkanku untuk segera bergegas pulang. Awalnya aku tak
banyak berharap matahari akan muncul
kembali setelah hujan yang cukup besar turun begitu lama. Namun ternyata… Di
sepanjang perjalanan, hujan yang besar berubah menjadi gerimis dan matahari
mulai menampakkan dirinya dengan awan yang begitu indah. Aku hanya terpaku
melihat gradasi yang begitu cepat terjadi di sore ini. Indah. Sangat indah.
..jpg)
Dengan
segera ku ambil kamera dan mengambil beberapa potret keadaan yang begitu jarang
terjadi. Aku tersenyum menatap mereka satu per satu. Matahari, awan, pohon-pohon
yang masih basah, dan… ku tengadahkan wajahku ke atas, mulai terasa air
membasahi hidung dan mataku. Hujan datang lagi. Hujan datang ketika aku sampai
di rumah. Begitu sempurnanya Engkau, Tuhan.
Sore ini begitu berbeda. Sore
yang dingin karena hujan deras yang membasahi bumi, namun seketika suasana
mencair oleh kekuatan sinar matahari yang mampu menghangatkannya. Hujan di sore
ini mengingatkanku pada kejadian beberapa tahun silam ketika aku mulai
menjalani hari-hariku dengan prinsip yang ku yakini dan prinsip yang membuat
hidupku berbeda. Prinsip yang Tuhan hadirkan untuk membuat hidupku lebih indah.
Pada saat itu hujan deras tak henti turun membasahi lapangan dan aku yang sedang
latihan karate di sekolah--SMP. Aku ingat, dan akan selalu ingat ketika aku berikrar
pada Tuhan bersaksikan air langit dan tanah lapang yang basah tanpa sedikit pun
kering yang tersisa. Dan kini aku mendapati sore yang begitu indah… Terima
kasih Tuhan, telah menghadirkan matahari di senja yang beku ini, dan
menghadirkan senyum tulus dari kekuatan sebuah kepercayaan yang takkan pernah
hilang.
Terimakasih banyak, Tuhan. Telah
membuatku tetap berdiri dan percaya bahwa Engkau akan selalu menjaganya,
dimanapun ia berada. Jagalah hatinya, Tuhan. Seseorang yang kelak akan dapat
membuatku lebih mencintaiMu. Dan… jagalah ia, Tuhan… meskipun
aku-tak-tahu-siapa-dirinya. Aku tetap berdiri dan menggenggam kuat prinsip yang
ku yakini sejak beberapa tahun silam. Aku dapat melangkah sejauh ini, aku mampu
yakin, aku dapat berdiri selama ini, karena Kau. Karena Kau, Tuhan.
Dan aku akan tetap menjaga
prinsip ini, karena hati… hanya satu.
Tak dapat terbagi, tak dapat dibagi.
Amirush
Shaffa Fauzia.
Koridor
sekolah, 14 September 2012 15.37
0 comments:
Posting Komentar