“Gue tau banget hubungan lo sama dia gimana. Gue tau banget
dia gimana, dan gue juga tau lo gimana. Sejauh apapun dia ninggalin lo, dia gak
bakal bisa jauh dari lo. Karena cuma lo yang bisa ngertiin dia. Cowo emang sih
suka mainin cewe, tapi kalo hatinya udah sreg di lo, apapun bakal dia lakuin
buat lo. Ngeliat lo diusik sama yang lain aja marah, gimana lagi buat mainin
lo? Gak bakal ada ceritanya. Nunggu sampe kapanpun juga dia sanggup. Nyampe
hati lo berkata ‘ya’ buat dia. Dia sanggup. Karena apa? Karena… dia udah nyaman
sama lo—sama hati lo. Rasa nyaman itu
gak bakal bisa dibohongin atau ditutupin, Fa. Apapun alasannya, dia tetep bakal
balik lagi ke lo karena gak bakal nemuin rasa nyaman yang sama. Inget itu.” –
(Nama disamarkan, 19th, mahasiswa)
Kamis, 14 Februari 2013
Jumat, 08 Februari 2013
Kilatan Sepenggal Surat
“Yang aku takutin
selama ini cuma takut kehilangan kamu, itu aja Ta. Tapi kenapa sekarang semua
itu terjadi? Walaupun aku gak pernah milikin kamu tapi aku takut banget…
Aku rindu senyuman
kamu.
Aku rindu di ingetin
sholat.
Aku rindu kita lagi
main adu ayam.
Aku rindu Ta semua
tentang kamu.
Kenapa kamu pergi
begitu cepat Ta?
Aku pengen banget
denger suara kamu sekarang.
Kamu lagi apa sama
siapa?
Apa bisa aku meminang
kamu di Jerman?
Apa kamu bisa tepatin
janjinya?”
**
Sepenggal kata dari 2 halaman surat yang kau berikan untukku
saat pelajaran terakhir hari ini. Surat yang tiba-tiba kau berikan pada saat
pelajaran Bahasa Indonesia Jum’at siang tepat pada pukul 11. Surat yang awalnya
kau yakini tak dapat ku baca dan ku pahami karena tulisan bersambungmu. Tapi
Tuhan mengizinkanku untuk memahaminya. Aku paham… goresan demi goresan tinta
yang kau tulis genap seminggu silam. Tawaku terpancar, namun tepat di kalimat
akhir… bulir bening itu akhirnya terjatuh tepat di kertasmu. Entahlah, berbagai
pertanyaan dan pernyataan hadir di benakku saat ku mulai membaca kalimat demi
kalimat yang kau tuliskan di atas kertas putih bergaris biru itu. Tulisan
miring bersambung yang mungkin takkan dimengerti tanpa hati.
Aku masih tetap duduk dan terpaku di tempatku. Kertas yang
kau berikan masih ku genggam dan ku bolak-balikkan di atas meja tempatku
menghadap kini. Sejenak, ku hirup udara lebih banyak dari biasanya dan ku
hempaskan dalam-dalam. Tulisanmu masih menyimpan banyak tanya di benakku. Namun
tiba-tiba langkah hadirmu menggugahku. Dengan segera aku menutup kertas dan
menyelipkannya di tengah buku tulis yang ada di hadapanku. Kau terbelingah. Kau
tak tahu. Dan aku pun segera menyajikan hal lain dari sesuatu yang baru saja ku
alami. Aku menyembunyikannya di hadapanmu. Ku sembunyikan tapak mata dan
dinginnya tetes air yang terjatuh karenanya. Ternyata kaupun menulisnya dengan
air mata? Berhasil, kau membuatku membacanya dengan air mata pula.
“Itu tulisannya belum selesai. Keburu berkaca-kaca dan yaaa
gitulah. Langsung aja aku izin ke kamar mandi terus gak balik ke kelas lagi.
Hehe..” Sepotong percakapan yang membuatku sedikit menyunggingkan tawa saat kau
mengantarkanku pulang tadi. Aku menangkap sesuatu dari tatapan matamu. Crap. Aku tahu sesuatu kini.
“Apa kamu udah lupa
sama janji kita?”
Kalimat yang kau tuliskan di tengah paragraf suratmu.
Tidak, aku tak pernah lupa. Kau tahu mengapa suratmu tak
rampung kau selesaikan? Tuhan menyuruhmu merampungkannya saat kita bertemu
nanti, sesuai dengan apa yang kita ucapkan bersama. Kita selesaikan surat itu
nanti, disana. Bersama.
Ku hapuskan segala pertanyaan yang hadir tak menentu sejak
tadi. Segera ku langkahkan kakiku menuju rumah dan mencoba melupakan pernyataan
yang tak terjabarkan keberadannya. Namun seiring langkahku, pikiranku melayang
kini. Masih ada satu pertanyaan yang tersisa dalam benakku yang menghentikan
langkahku sebelum ku mengetuk dan membuka pintu rumah. Pertanyaan yang datang secepat
kilat dan tiba-tiba datang menghampiri pikiranku. “Dalam ucapanmu untuk
menunggu 8 tahun kemudian… Dapatkah kau setia?”
Categories
my journey
Kamis, 07 Februari 2013
Kehilangan
Aku berjalan menyusuri keramaian
dengan langkah hampa. Kepalaku tertunduk, mataku sedikit terpejam. Kedua tangan
ku susupkan dan ku biarkan mereka hangat di balik kantung sweater woll hitamku.
Desah nafas tak tenang dapat terdengar dengan jelas merambat di saraf
telingaku. Cairan bening dan dingin yang terasa karenanya kini dengan cepat
menggumpal di kedua sudut mataku.
Inikah
rasanya ‘kehilangan’?
Desir darah yang terbiasa dengan
kehadiranmu, pikiran yang selalu tertuju padamu ketika aku terjaga dari tidur
lelapku, mata yang tak pernah berpaling untuk menatapmu, tangan yang tak pernah
lepas dari genggaman eratmu, dan hati… yang tak pernah siap untuk kehilanganmu.
Menyadari ketiadaanmu… membuat hatiku terangkat dan tenggorokanku tercekat
dengan cepat. Secepat inikah harus ku relakan apa yang menjadi separuh nafasku?
Siang ini matahari enggan untuk
menampakkan dirinya. Ia lebih memilih untuk bersembunyi dan cuti dari dunia
bagian dimana tempatku berdiri kini. Awan mendung merajai dengan air langit
yang lama-kelamaan mulai menyusupi hawa beku karenanya. Tak peduli seberapapun
air yang membuat pakaianku lebih berat karena basah, aku melanjutkan langkahku
dan tak pernah acuh terhadap apapun yang terjadi. Jam tanganku bergerak sangat lambat.
Detik demi detik ku rasakan seperti siksaan yang tak kunjung mereda. Kursi kayu
yang basah menarik pandanganku. Ku arahkan langkahku dan terdiam di atasnya.
Menyadari kembali separuh hati yang melayang bersama kepergiannya.
“Tuhan,
ku mohon jagalah ia…”
Aku belajar bagaimana aku harus
merelakan apa yang sudah menjadi bagian dari nafasku setiap detiknya. Aku
belajar bagaimana aku harus menerima kenyataan yang sama sekali tak pernah ku
sangka akan merubah hidupku yang ternyata begitu berbeda tanpanya. Aku belajar
bagaimana untuk berdiri dan tersenyum meski tak berada di sampingnya. Dan aku
belajar bagaimana aku harus melepaskan apa yang semestinya aku hapuskan, meski
aku tak pernah rela untuk hidup tanpanya.
Biarkan
kini aku berdiri melawan waktu untuk melupakanmu. Walau pedih hati, namun ku
bertahan. Dan biarkan cinta ini hidup untuk sekali ini saja – Glenn Fredly.
Rasanya terlalu cepat kau mengambil
alih seluruh hati dan perasaanku yang sempat terkunci rapat sebelumnya. Kau
yang dapat meluluhkan, dan kini kau pula yang mampu membekukan. Bisakah ku putar
waktu? Bisakah? Atau hanya untuk sekedar menghadirkanmu kembali disini.
Dapatkah?
Dengan cepat Tuhan mengambilmu
seiring dengan luka yang tak kunjung mengering dalam hatiku. Tuhan sungguh
memelukmu, meraba sudut hati yang hampir mati dengan segala memori yang
terkenang dan takkan bisa dengan cepat menghilang bersama hembusan lembut angin
yang menyapa setiap malammu. Tak sadar dalam setiap larut malam selalu ku
terjaga dan bangun dari lelapku. Rutin melihat keadaan yang sebenarnya tak
kunjung berubah. Namun salahkah aku yang masih berharap?
Suara dan kilatan petir menggugah
lamunan panjangku. Pikiranku kosong, entah kemana perginya mereka yang
seharusnya menjadi keharusanku siang ini. Kedua tangan ku telungkupkan menutupi
wajahku, sedikit menghapus air hujan yang sejak tadi menemani kesendirianku.
Seakan semua memori kembali berputar dan tak henti membuatku merasa tersiksa. Letih
meski telah ku coba melabuhkan segala rasa. Kehilangan. Ya, baru saja aku merasakan
rasa pedih itu. Rasa yang selalu mereka hindari namun usaha yang tak pernah
kunjung berhasil. Rasa sepi yang tak juga pergi sejak itu, membantuku untuk
menyadari “Jangan pernah kau sia-siakan
apapun yang selama ini tak nampak keberadaannya karena terbiasa dengannya.
Ketika...
Langganan:
Postingan (Atom)