Kamis, 14 Februari 2013

Secuil Alinea

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 23.07 0 comments

“Gue tau banget hubungan lo sama dia gimana. Gue tau banget dia gimana, dan gue juga tau lo gimana. Sejauh apapun dia ninggalin lo, dia gak bakal bisa jauh dari lo. Karena cuma lo yang bisa ngertiin dia. Cowo emang sih suka mainin cewe, tapi kalo hatinya udah sreg di lo, apapun bakal dia lakuin buat lo. Ngeliat lo diusik sama yang lain aja marah, gimana lagi buat mainin lo? Gak bakal ada ceritanya. Nunggu sampe kapanpun juga dia sanggup. Nyampe hati lo berkata ‘ya’ buat dia. Dia sanggup. Karena apa? Karena… dia udah nyaman sama lo—sama hati lo. Rasa nyaman itu gak bakal bisa dibohongin atau ditutupin, Fa. Apapun alasannya, dia tetep bakal balik lagi ke lo karena gak bakal nemuin rasa nyaman yang sama. Inget itu.” – (Nama disamarkan, 19th, mahasiswa)

Jumat, 08 Februari 2013

Kilatan Sepenggal Surat

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 20.09 0 comments

“Yang aku takutin selama ini cuma takut kehilangan kamu, itu aja Ta. Tapi kenapa sekarang semua itu terjadi? Walaupun aku gak pernah milikin kamu tapi aku takut banget…
Aku rindu senyuman kamu.
Aku rindu di ingetin sholat.
Aku rindu kita lagi main adu ayam.
Aku rindu Ta semua tentang kamu.
Kenapa kamu pergi begitu cepat Ta?
Aku pengen banget denger suara kamu sekarang.
Kamu lagi apa sama siapa?
Apa bisa aku meminang kamu di Jerman?
Apa kamu bisa tepatin janjinya?”
**

Sepenggal kata dari 2 halaman surat yang kau berikan untukku saat pelajaran terakhir hari ini. Surat yang tiba-tiba kau berikan pada saat pelajaran Bahasa Indonesia Jum’at siang tepat pada pukul 11. Surat yang awalnya kau yakini tak dapat ku baca dan ku pahami karena tulisan bersambungmu. Tapi Tuhan mengizinkanku untuk memahaminya. Aku paham… goresan demi goresan tinta yang kau tulis genap seminggu silam. Tawaku terpancar, namun tepat di kalimat akhir… bulir bening itu akhirnya terjatuh tepat di kertasmu. Entahlah, berbagai pertanyaan dan pernyataan hadir di benakku saat ku mulai membaca kalimat demi kalimat yang kau tuliskan di atas kertas putih bergaris biru itu. Tulisan miring bersambung yang mungkin takkan dimengerti tanpa hati.

Aku masih tetap duduk dan terpaku di tempatku. Kertas yang kau berikan masih ku genggam dan ku bolak-balikkan di atas meja tempatku menghadap kini. Sejenak, ku hirup udara lebih banyak dari biasanya dan ku hempaskan dalam-dalam. Tulisanmu masih menyimpan banyak tanya di benakku. Namun tiba-tiba langkah hadirmu menggugahku. Dengan segera aku menutup kertas dan menyelipkannya di tengah buku tulis yang ada di hadapanku. Kau terbelingah. Kau tak tahu. Dan aku pun segera menyajikan hal lain dari sesuatu yang baru saja ku alami. Aku menyembunyikannya di hadapanmu. Ku sembunyikan tapak mata dan dinginnya tetes air yang terjatuh karenanya. Ternyata kaupun menulisnya dengan air mata? Berhasil, kau membuatku membacanya dengan air mata pula.

“Itu tulisannya belum selesai. Keburu berkaca-kaca dan yaaa gitulah. Langsung aja aku izin ke kamar mandi terus gak balik ke kelas lagi. Hehe..” Sepotong percakapan yang membuatku sedikit menyunggingkan tawa saat kau mengantarkanku pulang tadi. Aku menangkap sesuatu dari tatapan matamu. Crap. Aku tahu sesuatu kini.

“Apa kamu udah lupa sama janji kita?”
Kalimat yang kau tuliskan di tengah paragraf suratmu.
Tidak, aku tak pernah lupa. Kau tahu mengapa suratmu tak rampung kau selesaikan? Tuhan menyuruhmu merampungkannya saat kita bertemu nanti, sesuai dengan apa yang kita ucapkan bersama. Kita selesaikan surat itu nanti, disana. Bersama.

Ku hapuskan segala pertanyaan yang hadir tak menentu sejak tadi. Segera ku langkahkan kakiku menuju rumah dan mencoba melupakan pernyataan yang tak terjabarkan keberadannya. Namun seiring langkahku, pikiranku melayang kini. Masih ada satu pertanyaan yang tersisa dalam benakku yang menghentikan langkahku sebelum ku mengetuk dan membuka pintu rumah. Pertanyaan yang datang secepat kilat dan tiba-tiba datang menghampiri pikiranku. “Dalam ucapanmu untuk menunggu 8 tahun kemudian… Dapatkah kau setia?”

Kamis, 07 Februari 2013

Kehilangan

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 14.48 0 comments

Aku berjalan menyusuri keramaian dengan langkah hampa. Kepalaku tertunduk, mataku sedikit terpejam. Kedua tangan ku susupkan dan ku biarkan mereka hangat di balik kantung sweater woll hitamku. Desah nafas tak tenang dapat terdengar dengan jelas merambat di saraf telingaku. Cairan bening dan dingin yang terasa karenanya kini dengan cepat menggumpal di kedua sudut mataku.

Inikah rasanya ‘kehilangan’?

Desir darah yang terbiasa dengan kehadiranmu, pikiran yang selalu tertuju padamu ketika aku terjaga dari tidur lelapku, mata yang tak pernah berpaling untuk menatapmu, tangan yang tak pernah lepas dari genggaman eratmu, dan hati… yang tak pernah siap untuk kehilanganmu. Menyadari ketiadaanmu… membuat hatiku terangkat dan tenggorokanku tercekat dengan cepat. Secepat inikah harus ku relakan apa yang menjadi separuh nafasku?

Siang ini matahari enggan untuk menampakkan dirinya. Ia lebih memilih untuk bersembunyi dan cuti dari dunia bagian dimana tempatku berdiri kini. Awan mendung merajai dengan air langit yang lama-kelamaan mulai menyusupi hawa beku karenanya. Tak peduli seberapapun air yang membuat pakaianku lebih berat karena basah, aku melanjutkan langkahku dan tak pernah acuh terhadap apapun yang terjadi. Jam tanganku bergerak sangat lambat. Detik demi detik ku rasakan seperti siksaan yang tak kunjung mereda. Kursi kayu yang basah menarik pandanganku. Ku arahkan langkahku dan terdiam di atasnya. Menyadari kembali separuh hati yang melayang bersama kepergiannya.

“Tuhan, ku mohon jagalah ia…”

Aku belajar bagaimana aku harus merelakan apa yang sudah menjadi bagian dari nafasku setiap detiknya. Aku belajar bagaimana aku harus menerima kenyataan yang sama sekali tak pernah ku sangka akan merubah hidupku yang ternyata begitu berbeda tanpanya. Aku belajar bagaimana untuk berdiri dan tersenyum meski tak berada di sampingnya. Dan aku belajar bagaimana aku harus melepaskan apa yang semestinya aku hapuskan, meski aku tak pernah rela untuk hidup tanpanya.

Biarkan kini aku berdiri melawan waktu untuk melupakanmu. Walau pedih hati, namun ku bertahan. Dan biarkan cinta ini hidup untuk sekali ini saja – Glenn Fredly.

Rasanya terlalu cepat kau mengambil alih seluruh hati dan perasaanku yang sempat terkunci rapat sebelumnya. Kau yang dapat meluluhkan, dan kini kau pula yang mampu membekukan. Bisakah ku putar waktu? Bisakah? Atau hanya untuk sekedar menghadirkanmu kembali disini. Dapatkah?

Dengan cepat Tuhan mengambilmu seiring dengan luka yang tak kunjung mengering dalam hatiku. Tuhan sungguh memelukmu, meraba sudut hati yang hampir mati dengan segala memori yang terkenang dan takkan bisa dengan cepat menghilang bersama hembusan lembut angin yang menyapa setiap malammu. Tak sadar dalam setiap larut malam selalu ku terjaga dan bangun dari lelapku. Rutin melihat keadaan yang sebenarnya tak kunjung berubah. Namun salahkah aku yang masih berharap?

Suara dan kilatan petir menggugah lamunan panjangku. Pikiranku kosong, entah kemana perginya mereka yang seharusnya menjadi keharusanku siang ini. Kedua tangan ku telungkupkan menutupi wajahku, sedikit menghapus air hujan yang sejak tadi menemani kesendirianku. Seakan semua memori kembali berputar dan tak henti membuatku merasa tersiksa. Letih meski telah ku coba melabuhkan segala rasa. Kehilangan. Ya, baru saja aku merasakan rasa pedih itu. Rasa yang selalu mereka hindari namun usaha yang tak pernah kunjung berhasil. Rasa sepi yang tak juga pergi sejak itu, membantuku untuk menyadari “Jangan pernah kau sia-siakan apapun yang selama ini tak nampak keberadaannya karena terbiasa dengannya. Ketika...

 

Amirush Shaffa Fauzia Copyright © 2012 Design by Sandi Hidayat