Jumat, 14 September 2012

Sepercik Hujan di Senja Hangat

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 15.49 0 comments

Aku suka. Ketika hujan mulai turun di sore hari dengan deras dan meluluh lantahkan kekuatan para insan dunia. Sejak dahulu, aku suka. Aku selalu ingat, ketika pertama kalinya aku jatuh cinta dengan hujan karena bermain-main dengannya dan merasakan sentuhan lembutnya ketika aku berumur 7 tahun di bulan November.  Dan kini, aku suka. Ketika aku dapat merasakan satu per satu air langit yang terjatuh ke telapak tanganku yang tersembunyi di bawah koridor sekolah. Aku suka. Ketika udara yang lebih dingin membekukan aliran darah meskipun hanya sekejap. Aku suka. Karena mereka dapat mengukir senyum yang lebih lama dari biasanya.

Hujan sore ini begitu deras, dan lagi-lagi aku terjebak di koridor sekolah. Jam tanganku menunjukkan pukul 4 sore. Aku belum pulang karena tugas kelompok yang harus segera dirampungkan bersama sahabatku, Sandi.  Hujan kali ini begitu membuat tubuhku luluh karena dingin yang lebih dari biasanya. Seperti biasa, aku tak membawa jaket atau sweater. Aku terpaksa harus menahan rasa gigilku sampai hujan reda dan tugas kelompok itu selesai.

Hujan tak kunjung reda. Aku mulai khawatir aku akan tiba di rumah lebih lama. Dan aku khawatir tak akan ada matahari di penghujung senja yang dingin ini. Waktu terus berjalan, namun air itu tak kunjung berhenti turun. Detik demi detik berlalu, kini jam menunjukkan pukul 5. Kekhawatiran itu mulai sirna seiring dengan air hujan yang mulai berkurang dan mempersilahkanku untuk segera bergegas pulang. Awalnya aku tak banyak  berharap matahari akan muncul kembali setelah hujan yang cukup besar turun begitu lama. Namun ternyata… Di sepanjang perjalanan, hujan yang besar berubah menjadi gerimis dan matahari mulai menampakkan dirinya dengan awan yang begitu indah. Aku hanya terpaku melihat gradasi yang begitu cepat terjadi di sore ini. Indah. Sangat indah.



Aku suka. Ketika sinar mentari senja menyinari tembok rumah-rumah dengan warna oranye bersemu merahnya. Aku suka. Ketika matahari muncul di belakang awan dan hanya menampakkan sedikit cahayanya. Aku suka. Karena mereka memiliki arti yang lebih di hidup seseorang. Aku.



Dengan segera ku ambil kamera dan mengambil beberapa potret keadaan yang begitu jarang terjadi. Aku tersenyum menatap mereka satu per satu. Matahari, awan, pohon-pohon yang masih basah, dan… ku tengadahkan wajahku ke atas, mulai terasa air membasahi hidung dan mataku. Hujan datang lagi. Hujan datang ketika aku sampai di rumah. Begitu sempurnanya Engkau, Tuhan. 

Sore ini begitu berbeda. Sore yang dingin karena hujan deras yang membasahi bumi, namun seketika suasana mencair oleh kekuatan sinar matahari yang mampu menghangatkannya. Hujan di sore ini mengingatkanku pada kejadian beberapa tahun silam ketika aku mulai menjalani hari-hariku dengan prinsip yang ku yakini dan prinsip yang membuat hidupku berbeda. Prinsip yang Tuhan hadirkan untuk membuat hidupku lebih indah. Pada saat itu hujan deras tak henti turun membasahi lapangan dan aku yang sedang latihan karate di sekolah--SMP. Aku ingat, dan akan selalu ingat ketika aku berikrar pada Tuhan bersaksikan air langit dan tanah lapang yang basah tanpa sedikit pun kering yang tersisa. Dan kini aku mendapati sore yang begitu indah… Terima kasih Tuhan, telah menghadirkan matahari di senja yang beku ini, dan menghadirkan senyum tulus dari kekuatan sebuah kepercayaan yang takkan pernah hilang.

Terimakasih banyak, Tuhan. Telah membuatku tetap berdiri dan percaya bahwa Engkau akan selalu menjaganya, dimanapun ia berada. Jagalah hatinya, Tuhan. Seseorang yang kelak akan dapat membuatku lebih mencintaiMu. Dan… jagalah ia, Tuhan… meskipun aku-tak-tahu-siapa-dirinya. Aku tetap berdiri dan menggenggam kuat prinsip yang ku yakini sejak beberapa tahun silam. Aku dapat melangkah sejauh ini, aku mampu yakin, aku dapat berdiri selama ini, karena Kau. Karena Kau, Tuhan.

Dan aku akan tetap menjaga prinsip ini, karena hati… hanya satu. 
Tak dapat terbagi, tak dapat dibagi.

Amirush Shaffa Fauzia.
Koridor sekolah, 14 September 2012 15.37


Minggu, 09 September 2012

Teh Hijau Sembilan September

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 13.52 0 comments
                Udara dan angin mulai melumpuhkan nadi dan mencoba membekukan darahku. Air langit yang turun sejak tadi siang membuatku sedikit berjaga sore ini. Mungkin juga karena seseorang jauh disana yang ku harapkan kehadirannya hari ini tak kunjung datang menemuiku. Tak ada senyuman. Aku mengharapkannya. Aku merindukannya. Namun ternyata hingga kini pun ia tak ada.

                Senyuman yang ku harapkan dari seorang yang ku kira kehadirannya hari ini, ternyata digantikan oleh seorang yang lain. Kau. Kau yang ternyata mampu membuatku tersenyum dan melupakan keresahanku pada seseorang yang tak kunjung datang padaku. Sejak pagi kita bertemu, kau membawa suasana hangat yang membuatku tak bosan mendengarmu. Tertawa di sela pekerjaan yang menyibukkan masing-masing diri kita, gurauan yang membuatku tak henti memperhatikan tingkah lucumu, dan senyuman yang selalu kau ciptakan saat aku merasa lelah.

                Hari ini begitu lelah bagi kita, bukan? Saat kita harus bekerja lebih ketika hanya kau dan aku yang terlibat dalam pengerjaan proyek ini. Namun kau pula yang membuatku bertahan hingga akhirnya senja datang dan menyuruh kita untuk kembali ke rumah masing-masing. Aku tak tahu bahwa kau mengetahui apa yang kurasakan. Secangkir teh hangat yang kau buat memberikan rasa tenang pada kondisi tubuhku yang mulai lemah dan tak tenang.

                “Kita lulus sama-sama, ya…”

                Aku akan selalu ingat. Akan selalu ingat kata-kata itu. Kata yang kau ucapkan saat kita bercerita mengenai segala hal di depan kamera dan camcorder. Kau mengajarkanku banyak hal yang tak ku duga sebelumnya. Hal tak terduga pula ketika akhirnya kita dipertemukan dalam proyek rintisan ini. Kau lebih dewasa, dan melihat dunia dari sisi lain yang tak orang lain lakukan. Aku kagum.

                Terimakasih untuk pelajaran berharga yang kau beri, terimakasih untuk segala senyuman yang membuatku lebih tenang hari ini, dan terimakasih untuk secangkir teh buatanmu yang membuat pening dan gigilku pergi menjauh. Tahukah kau? Di sepanjang jalan, ayahku tak berhenti bercerita tentangmu. Aku tahu, ayahku tak pernah menyetujui ketika aku ‘lebih’ dekat dengan lawan jenisku. Namun, baru kali ini aku mendengarnya bercerita penuh tentangmu tak henti hingga kami sampai di rumah pun. Begitu ganjil, namun aku tahu. Sepertinya… ayahku menyukaimu.

Sembilan September 2012
Ketika secangkir teh hijau hangat
yang kau berikan untukku memberikan rasa yang indah
pada senja setelah hujan.
Terima kasih, kau.

 

Amirush Shaffa Fauzia Copyright © 2012 Design by Sandi Hidayat