Selasa, 05 Februari 2019

(Mencoba) Menyembuhkan - Seri 1

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 22.06 0 comments

Hai. Karena emang gue gak mau nama gue diexpose, jadi panggil aja gue Rena. Gue mahasiswa di salah satu universitas di Jakarta, 21 tahun menuju 22 di tahun 2019 ini. Oh iya, sebelumnya makasih buat temen gue Shaffa yang udah ngasih kesempatan yang sangat berharga buat gue. Cerita yang gak pernah gue ceritain ke orang lain karena gue pikir nyerita ke orang lain yang gak paham hidup gue bakal jadi beban aja. Tapi ketika gue liat ada kesempatan di (mencoba) menyembuhkan ini, gue berharap semoga cerita gue bisa ada manfaatnya buat orang lain. Ceilah bacot banget dah sorry yak! Hahaha. Mulai aja apa? Oke deh.

Pernah gak sih, lo ada di satu keadaan yang rumit banget dan gak tau jalan keluarnya? Itu yang gue alamin. Mungkin banyak di luar sana yang pernah ada di posisi gue, tapi kekuatan setiap orang buat ngadepin masalah itu beda-beda kan? Dan bagi gue, ini adalah ujian terberat selama gue hidup. Karena apa? Karena gue sebelumnya gak pernah jatuh cinta.

Gue males sama semua makhluk laki-laki karena bokap gue. Semenjak nyokap-bokap cerai waktu SMP, gue kehilangan kepercayaan sama semua cowok di dunia ini, termasuk temen sekalipun. Gue gak pernah merasa nyaman kalau harus deket sama cowok, apalagi kalau harus PDKT. Dih, ogah pokoknya. Meskipun banyak temen-temen cewek gue ngenalin temen cowoknya ke gue, tapi gak ada satupun cowok yang bikin gue jatuh cinta.

Kecuali satu orang.

Gue ngeliat dia orangnya sangat mengayomi, gak pernah egois, selalu menempatkan kebutuhan orang lain dibandingkan kepentingan dianya sendiri. Berwibawa, selalu bantu orang siapapun itu, bahkan gue denger dia pernah jauh-jauh nolongin orang yang kecelakaan pake mobilnya buat ngederek. Gila sih. Bagi gue, dia luar biasa. Kalau paras, ya emang bukan tipe cowok-cowok kampus keren gitu. Tapi bagi gue, kebaikannya yang bisa bikin gue luluh.

Dan, gilanya lagi, dia ngasih kode ke gue buat deket sama dia. Mau mati gue! Singkat cerita (karena emang gak mungkin gue ceritain semua di sini), gue jadian sama dia di pertengahan 2015. Hubungan kita bener-bener relationship goals lah kalau kata orang-orang. Tugas-tugas gue juga banyak dia bantuin. Sumpah, gak pernah gue sengebet ini buat dinikahin cowok, cuma dia doang yang bikin gue cinta sampe jungkir balik.

Sampai suatu saat, di Februari 2018, hari di mana dia bilang ke gue kalau dia pengen nemuin orang tua gue. Sumpah, gue kaget. Iya sih dia udah mapan, tapi gue? Kuliah aja beloman lulus coy. Tapi ya dipikir-pikir kalau emang keputusan dia udah mateng, ya udah nunggu apa lagi. Gue setuju, dia ke rumah gue terus nemuin nyokap gue.

Semua berlangsung lancar, nyokap gue juga keliatan banget setuju. Gue paham kalau nyokap gue udah ngasih tanda hijau ke seseorang, karena beliau orangnya picky banget, sama kek gue anaknya. Asli, semu lancar sampai nyokap gue lontarin satu pertanyaan yang bikin gue bisa nulis ini sekarang.

“Kamu nasrani, kan?”

Gue senyam senyum ngeliat raut wajah nyokap. Kayaknya ini bakal jadi pertanyaan terakhir sebelum nyokap gue nyetujuin hubungan ini ke jenjang yang lebih serius.

“Saya Hindu, tante.” Katanya, sambil tetep senyum. Senyum yang bikin hidup gue gila.

Seketika seisi ruang tamu rumah gue hening. Dalam beberapa detik, kami semua ngerasa beku. Terutama gue. Plis, Ren, bisa-bisanya gue pacaran sama dia dua setengah taun tapi gue gak tau agamanya apa? Sumpah, sumpah, gue gak pernah tau. Karena pernah beberapa waktu, dia nganter gue ibadah Minggu ke gereja dan dia pun masuk ke gereja. Dia di samping gue, nemenin gue yang waktu itu lagi sakit.

Nyokap gue gak pake basa-basi, langsung pergi dan masuk ke kamar. Gue? Pengen mati. Gue nangis kejer di depan dia yang keliatan masih bingung. Inget banget gue, dia bilang “Mama?” gue masih nangis, dan gue jawab “Orang tua gue cerai gara-gara beda agama, dan lo masih bisa di sini buat nikahin gue?” di situ gue ngomongnya udah gak aku-kamu lagi kek pas pacaran soalnya gue shock berat. Demi Tuhan, gue cinta mama dan gak bisa ninggalin cowok yang bikin rasa benci gue ke laki-laki ini hilang. Cuma dia, gak ada lagi cowok lain.

Selama beberapa bulan, gue stress. Gue gak tau mesti gimana. Hidup gue bener-bener berantakan. Kuliah juga ogah-ogahan. Biasanya, ketika gue berantakan, dia datang buat ngebenerin hidup gue. Tapi ini enggak, soalnya gue teriak saat itu juga waktu di rumah “PERGI, PENGKHIANAT!” gue out of control saat itu. Soalnya gue ngeliat sorot mata mama yang kecewa sama gue. Secara gak sengaja gue lampiasin ke dia. Mungkin dia sakit hati. Terus dia gak pernah lagi ngehubungin gue. Ceritanya sebenernya masih panjang, tapi gue gak kuat. Ngetik sampe sini aja keyboard laptop gue basah cuy. Sorry.

Gue (mencoba) menyembuhkan diri dengan main musik. Udah lama gue gak nyentuh piano semenjak kuliah. Kuliah gue emang banyaknya berhubungan sama angka, bukan entertainment. Jadi beberapa tahun ini piano di kamar gue berdebu. Tau kan sakitnya ditinggal orang yang bener-bener lo sayang? Bahkan kenapa sakitnya ketika udah menjalani hubungan sampai mau nikah segala? Stress, sumpah. Gue tumpahin semua kekesalan gue sama piano. Gue nangis di atasnya, sambil main nada random gue rekam di HP buat jadi pengingat gue pernah sesakit ini. Emangnya, gue gak berhak bahagia? Kenapa? Kenapa harus gini?

Sampai sekarang mungkin luka gue belum sembuh padahal udah setahun berlalu. Tapi gue bersyukur sama Tuhan, karya dari hasil sakit hati gue (dengan proses panjang dan alot) akhirnya dibeli sama salah satu penyanyi di Indonesia, yang lo sering dengerin di Youtube atau Spotify, Joox, yang kemarin-kemarin sempet jadi trending, itu yang bikin gue hari ini gak mesti minta duit lagi ke nyokap.

Buat lo lo yang pernah atau bahkan sering dengerin lagunya, gue ucapin terima kasih. Dari situ, gue bisa makan, kuliah, dan (mencoba) menyembuhkan sakit hati gue dari cinta beda agama yang kandas. Jalan Tuhan emang gak pernah disangka. Dan gue juga baru sadar buat bersyukur ketika udah nulisin semuanya di sini. Ternyata, nyembuhin diri emang gak perlu nuntut ke orang lain. Dimulai dari diri sendiri.


Jakarta, 5 Februari 2019
Setahun setelah kejadian
Salam dari gue, manusia yang masih (mencoba) menyembuhkan hati.


Makasih udah baca tulisan gue. Sorry kalo berantakan dan gak enak dibaca. Masih belajar!

Minggu, 03 Februari 2019

(Mencoba) Menyembuhkan

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 20.02 0 comments
Halo! Gimana kabarnya? Setelah ratusan purnama gak buka blog karena alasan tersampah yang pernah ada di dunia ini: sibuk kuliah, lalu sibuk berkegiatan, lalu setelah lulus (malah) sibuk kerja. Akhirnya, aku kembali membuka hati untuk menulis di sini. Selama ini, tulisan-tulisanku aku endapkan di notes HP atau di buku catatan harian sapi, bersebelahan dengan jadwal-jadwal harianku. Cukup di sana. Tapi, lama-kelamaan aku sadar kalau hidup itu bukan cuma untuk kita sendiri. Siapa tau—iya, siapa tau ada “sesuatu” yang berguna atau ada sedikit manfaat yang bisa diambil ketika membaca tulisanku. Karena kita gak pernah tau dari mana, oleh siapa, kapan, “sesuatu” itu hadir dan dapat menyadarkan diri. Who knows?

Iya, tulisan kali ini gak akan formal kok. Bakal lebih santai. Juga gak bakal jadi tulisan yang terlalu baku. Pokoknya, bakal lebih rileks. Di tulisan ini, aku bakal coba sharing tentang kehidupan yang tentunya bukan tentang aku atau kamu aja. Tapi tentang siapapun. Karena dunia ini bukan cuma punya aku atau kamu aja, kan? Tentunya, tujuannya untuk berbagi. Dan kalau ada yang sedang mengalami hal terburuk, atau sedang berada di fase terpuruk, biar kamu ngerti; bahwa kamu gak sendiri.

Sendiri itu berat. Apalagi merasa sendiri. Jadi, sini. Ada aku di sini. Ya maksudnya gak cuma aku. Tapi banyak yang sayang sama kamu, gitu.

Bahwa "Aku tidak baik-baik saja" adalah bukti bahwa kamu merasakan pahit sebelum manis. And it's okay not to be okay, dear.

Kenapa judulnya (Mencoba) Menyembuhkan? Karena, tulisan ini nantinya akan menjadi series yang mengangkat kisah-kisah yang mungkin bisa jadi obat untuk kisah lain. Hmm… bingung? iya, gak apa-apa gak ngerti juga. Pelan-pelan aja. Nanti juga paham.

Kenapa mencoba-nya harus pake kurung? Kenapa mesti mencoba untuk menyembuhkan? Kenapa gak pake kata yang lain? Kenapa? Kenapa? Kenapaaaaaaaaaaaaaaa???????????

Mencoba. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, termasuk ke dalam Verba; kata kerja yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan. Mencoba adalah mengerjakan (berbuat) sesuatu untuk mengetahui keadaan. Mencoba adalah berusaha melakukan (berbuat) sesuatu.
Mencoba adalah kita, di sini, untuk menyembuhkan.

Menyembuhkan. Sama, termasuk ke dalam verba yang artinya menjadikan sembuh; mengobati dan sebagainya supaya sembuh. Kita tahu, Yang Maha Menyembuhkan adalah Yang Maha Kuasa. Tetapi, untuk sampai ke sana, kita mesti memiliki usaha untuk mencapainya.
Dengan apa? Dengan mencoba.

(Mencoba) menyembuhkan apa? Siapa? Untuk apa? Kenapa?

Penjelasan singkat di atas belum mewakili apa yang aku maksud, sebenarnya. Tapi aku yakin suatu saat kamu, iya kamu, siapapun yang baca ini, bakal ngerti seiring waktu. Seiring kamu benar-benar “baca” tentang seri demi seri ini, kamu bakal menemukan apa yang aku maksud. Dan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, suatu saat nanti akan menemukan rumahnya sendiri meski tanpa dicari. Semoga niat baiknya sampai, ya.

Semua orang punya perspektif atau sudut pandangnya masing-masing dalam menghadapi banyak hal. Semakin kita terbuka, semakin besar pula kemungkinan kita untuk sembuh. Karena terkadang, memendam amarah atau emosi itu lama-lama akan menyakitkan. Dan bukan hanya memutar di pikiran saja, lama-lama akan menjalar pula ke kesehatan fisik. Maka dari itu, mari… lebih baik, dibicarakan. Tidak mau? Tenang, masih bisa dituliskan. Dengan cara apapun, tujuannya tetap sama, semua adalah upaya untuk menyembuhkan.

Jadi, sudah seberapa jauh kamu berjalan untuk (mencoba) menyembuhkan?
 

Amirush Shaffa Fauzia Copyright © 2012 Design by Sandi Hidayat