Tetes air langit ku pandangi jauh dari balik jendela kamarku. Baru saja ku menjadi bagian dari hilangnya mentari senja hari ini. Semburat sinar mulai sirna sedikit demi sedikit mengambil diri dan kembali pada keharusannya. Ku pandangi satu per satu wujud mereka yang pasrah jatuh ke bumi dengan indahnya. ‘Mereka menyejukkan...’ bisikku dalam hening.
Suara gemercik air tak henti menari di indera pendengaranku. Mereka seperti memberi energi lebih dari biasanya untukku kembali merangkul lembaran demi lembaran kertas kosong yang tak sabar untuk segera digores oleh tinta hitam dalam lengkungan diksi.
When I looking into your eyes
I’ts like watcin’ the night sky or a beautiful sunrise
Well there’s so much they hold
And just like them old stars, I see that you’ve come so far
To be right where you are
How old is your soul?
Alunan musik memenuhi seisi lobus-lobus pikiranku. Melayang... menjauh... mendekati kepingan kenangan yang telah lama ditinggalkan oleh pemiliknya. Ku buka kembali kotak kecil tempat ku menyimpan segalanya disana, tempat ku menyimpan apa yang seharusnya jauh-jauh ku lupakan. Untuk selamanya, mungkin.
Namun ternyata sesuatu yang terdapat dalam ragaku berontak, menghentak-hentakkan segala kemampuannya untuk mencapai perasaku. Lama-kelamaan semuanya tak dapat disembunyikan lagi. Terlebih ketika waktu yang telah menyadarkanku selama bermilyar detik yang telah ku lewati selama ini. Aku gagal... melupakanmu.
I won’t give up on us
Even if the skies get rough
I’m giving you all my love
I’m still looking up
6 tahun ternyata tak membuatku lantas dengan cepat melupakanmu. Kenyataannya, itu sulit sekali. Dengan cepat waktu berlalu meninggalkan jejak-jejak memori yang sempat kita lalui bersama. Bersama. Sekali lagi, bersama. Menyatukan ego yang tertanam sejak lama, menyatukan latar yang sangat bertolak belakang, memahami satu sama lain hanya demi satu kata, kita.
Konyol, memang. Ketika aku masih mengingat-ingat segalanya tentang kita. Namun itulah kenyataannya. Ketika aku masih membandingkan mereka dengan adanya kehadiranmu. Ketika aku tahu ‘dia’ tak dapat mengerti sebagaimana kau memahami aku. Ketika hatiku tak dapat berkata “iya” meski kau tak lagi ada di sampingku. Ketika segalanya terjadi begitu cepat aku melupakan ‘dia’, ‘dia’ dan ‘dia’ yang hadir bergantian mengisi kosongnya hati yang telah lama kau tinggalkan. Tepatnya bukan mengisi, hanya ‘melewati’.
Suara gemercik air tak henti menari di indera pendengaranku. Mereka seperti memberi energi lebih dari biasanya untukku kembali merangkul lembaran demi lembaran kertas kosong yang tak sabar untuk segera digores oleh tinta hitam dalam lengkungan diksi.
When I looking into your eyes
I’ts like watcin’ the night sky or a beautiful sunrise
Well there’s so much they hold
And just like them old stars, I see that you’ve come so far
To be right where you are
How old is your soul?
Alunan musik memenuhi seisi lobus-lobus pikiranku. Melayang... menjauh... mendekati kepingan kenangan yang telah lama ditinggalkan oleh pemiliknya. Ku buka kembali kotak kecil tempat ku menyimpan segalanya disana, tempat ku menyimpan apa yang seharusnya jauh-jauh ku lupakan. Untuk selamanya, mungkin.
Namun ternyata sesuatu yang terdapat dalam ragaku berontak, menghentak-hentakkan segala kemampuannya untuk mencapai perasaku. Lama-kelamaan semuanya tak dapat disembunyikan lagi. Terlebih ketika waktu yang telah menyadarkanku selama bermilyar detik yang telah ku lewati selama ini. Aku gagal... melupakanmu.
I won’t give up on us
Even if the skies get rough
I’m giving you all my love
I’m still looking up
6 tahun ternyata tak membuatku lantas dengan cepat melupakanmu. Kenyataannya, itu sulit sekali. Dengan cepat waktu berlalu meninggalkan jejak-jejak memori yang sempat kita lalui bersama. Bersama. Sekali lagi, bersama. Menyatukan ego yang tertanam sejak lama, menyatukan latar yang sangat bertolak belakang, memahami satu sama lain hanya demi satu kata, kita.
Konyol, memang. Ketika aku masih mengingat-ingat segalanya tentang kita. Namun itulah kenyataannya. Ketika aku masih membandingkan mereka dengan adanya kehadiranmu. Ketika aku tahu ‘dia’ tak dapat mengerti sebagaimana kau memahami aku. Ketika hatiku tak dapat berkata “iya” meski kau tak lagi ada di sampingku. Ketika segalanya terjadi begitu cepat aku melupakan ‘dia’, ‘dia’ dan ‘dia’ yang hadir bergantian mengisi kosongnya hati yang telah lama kau tinggalkan. Tepatnya bukan mengisi, hanya ‘melewati’.
To Be Continued...
0 comments:
Posting Komentar