oleh Amirush Shaffa Fauzia
“Oyasuminasai, Gez…”
Kata-kata itu membuatku terhenyak, dan rasanya tak ingin mengakhiri malam ini. Rama, kakak kelas sekaligus temanku sejak masuk SMA, mengucapkan kata-kata itu di saat aku tak dapat tertidur malam ini. Tetapi langsunglah aku dapat tidur dengan nyenyak, sanyat nyenyak.
“Ohaiyou Gozaimasu, Gez…”
Sebuah text yang membangunkanku pada pukul 5 pagi, pas pukul 5. Rama. Ternyata Rama yang membangunkanku dari kenyenyakan tidurku, dengan bahasa Jepangnya. Rasanya pagi ini adalah pagi terindah dalam hidupku. Tanpa berlama-lama bermalasan di kasur, aku langsung menuju kamar mandi dan dengan cepat menyegerakan untuk mandi. Setelah semuanya siap, aku langsung turun menuju ruang makan dan langsung berpamitan kepada mama, papa, dan Gian, satu-satunya kakakku yang paling ku cintai. Satu persatu kuciumi kening mereka, dan langsung pergi sekolah tanpa sarapan. Maklum, hari ini sedang semangat sih.
Kecepatan mobilku hari ini tak seperti biasa, sangat cepat karena aku meminta kepada supir pribadiku untuk segera sampai di sekolah. Supirku menuruti perintahku, dan dengan cepat aku sudah sampai di sekolah jam 06.00. Lebih cepat 1 jam dari biasanya, karena bel masuk jam 07.00, dan biasanya aku sampai di sekolah jam 07.25. Dengan segera aku masuk ke kelas dan menunggu kedatangan “seseorang”. Siapa lagi kalau bukan Rama. Semenit berlalu kurasakan seperti sehari lamanya. Dengan gelisah, akhirnya aku memilih duduk di taman sekolah karena suasananya yang sepi dan sejuk. Tak berapa lama kemudian, “Ehm… ” suara itu rasanya kukenal, saat aku menolehkan wajahku, ternyata… Rama!
Rasanya meleleh hatiku melihat wajahnya pagi ini. Wajah yang putih dengan rambut yang tersisir rapi dan menawan. Dan aku mempersilahkannya untuk duduk di sampingku, dengan jantung yang lebih cepat berdebar. “Sedang apa disini, Gez?”
OMG! Dia menyebut namaku! Dan dengan terbata-bata aku menjawabnya…
“Tak apa. Hanya menunggu bel masuk berbunyi.”
“Ooh, aku kira menunggu seseorang…”
*Padahal dalam batinku, aku menjawab “iyaa aku nunggu kamu!”*
v
Mantan ketua OSIS itu kini ada di hadapanku. Hatiku seperti beku, dan tubuhku serasa menggigil. Matanya yang indah memandangku dalam, mencoba mencari tahu apa yang ada dalam hatiku. Namun aku menolaknya, hanya air mata yang dapat bicara. Aku melihat sekelilingku, tak ada siapapun. Hanya aku, dan Rama. Namun entah mengapa, air mata itu terus mengalir deras.
“Gez, aku minta sekarang… Tolong jawab Gez…”
“Rama, aku tak bisa, maaf…”
“Baiklah, aku terima keputusanmu. Tapi apa alasannya?”
“Aku… sudah punya cinta yang lain.”
Berat. Sangat berat lidahku mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang tak jujur dari dalam hati ini. Aku bisa melihat kekecewaan yang sangat dalam di diri Rama. Aku mencintai Rama, aku menyayanginya. Namun… mungkin inilah jalan terbaik yang harus ku pilih. Aku menolak permintaan cinta Rama karena aku tak ingin mengecewakan sahabatku, Denada. Denada adalah salah satu sahabatku di sekolah. Dia menyukai Rama semenjak aku dekat dengan Rama, ia mengira Rama mendekatiku untuk dirinya, padahal Rama mendekatiku untuk aku, bukan untuk Denada.
Semenjak hari itu, dimana hari itu adalah hari perpisahan dan kelulusan kelas XII, aku tak pernah lagi berhubungan dengan Rama, maupun dengan Denada. Aku tak kuasa bertemu Rama karena aku telah membohongi diriku sendiri, aku menolak cintanya padahal aku sangat mencintainya. Dan aku tak kuasa bertemu Denada karena dia telah mengetahui bahwa Rama sebenarnya mencintai aku, bukan dirinya.
Hari demi hari berganti, tak terasa akhirnya kini angkatanku yang menyusul kelulusan. Dan aku sangat bersyukur tahun ini aku yang meraih nilai terbaik dalam ujian nasional SMA. Aku mendapatkan beasiswa di UNPAD, fakultas kedokteran. Benar-benar hal yang tak ku duga, cita-citaku kini tercapai. Suatu saat aku berjalan-jalan ke SMA dan bersilaturahmi dengan semua guru-guru, aku melihat taman sekolah. Dan memoriku tertuju pada… Rama.
Dimana dia sekarang? Rasanya sudah lama sekali aku tak mendapat kabar darinya. Terhitung sudah 6 tahun tak pernah berkomunikasi lagi. Hilang tak ada sedikit suara.Beberapa temanku sudah kuhubungi untuk mencari tentang keberadaan Rama. Namun tak ada satupun yang mengetahuinya. Apa boleh buat, aku hanya bisa mengenangnya saja dalam ingatanku.
Sidang skripsi usai sudah. Tinggal menunggu hari bahagia itu datang,hari wisuda yang sudah lama ku dambakan. Mama, Papa, dan Gian mengantarku di hari wisudaku. Bunga mawar merah datang kepadaku dari tangan kakakku tercinta. Aku memeluknya, dan menangis di pelukannya. Gian yang selama ini menguatkanku untuk melupakan seorang Rama yang benar-benar aku cintai. Kakakku, Gian yang mengerti aku.
Kini aku membuka klinik kecil-kecilan dan membuka jam kerja. Suatu hari, seorang laki-laki datang, yaitu Yoka. Yoka adalah teman kuliahku, dan dia pun sekelas denganku. Kami memang dekat, tapi hanya sebatas teman. Namun pada saat itu kedatangan Yoka ke rumahku berbeda dari biasanya. Yoka melamarku dengan membawa cincin. Mamaku hanya tersenyum, dan menyerahkan semua keputusan kepadaku karena menganggap aku sudah dewasa untuk hal seperti ini. Aku hanya terdiam, tak mampu berkata-kata. Aku belum mempunyai hubungan yang khusus dengannya, namun dia terlihat begitu serius denganku. Aku menundanya untuk beberapa waktu, menunggu waktu yang tepat untuk menjawab lamaran Yoka. Aku akan mencoba menjalani hubungan lebih dekat dengan Yoka, sebelum aku menerima lamarannya.
Kakakku sering memberiku masukan yang berarti, yang membuatku mengerti akan hidup ini. Kini sedikit demi sedikit aku mencoba melupakan Rama, dan beralih pada Yoka. Meskipun aku tak dapat sepenuhnya melupakan Rama, tapi aku mencoba untuk menghilangkan semua kenanganku bersamanya, walaupun itu berat bagi hatiku. Aku berfikir, mungkin Yoka yang bisa mengobati luka hatiku. Namun entah mengapa, hatiku tak dapat menerima Yoka. Aku tetap tak dapat menerimanya meskipun aku telah mencoba untuk mencintai Yoka, namun tetap tak bisa. Aku tak bisa memaksakan hati ini untuk mencintai orang yang tidak aku cintai, dan akhirnya aku memutuskan untuk menolak lamaran Yoka.
Liburan kini tiba. Mama, Papa, Gian dan aku berencana menghabiskan liburan kami di Jepang. Rencananya kami akan menghabiskan waktu 2 minggu berlibur disana. Sesampainya disana, aku banyak mendapatkan pelajaran yang mengasyikkan.
Pagi hari, Papaku sudah datang ke kamarku dengan ketukan pintu yang tak sabar. Ternyata Papa tak terima dengan pelayanan hotel yang tak memuaskan namun bayarannya mahal. Aku hanya meredam emosi Papa dan kami berencana untuk pindah hotel meskipun kami sudah terlanjur membooking 3 kamar untuk 2 minggu. Kemudian Gian mengadukan hal ini kepada resepsionis dan tidak mau tahu dengan kejadian ini. Pada saat kami akan check out dan meninggalkan hotel, sang manager hotel datang dan meminta maaf pada Papa atas kesalah pahaman ini, dan mempersilakan kami untuk tetap menginap di hotel itu dengan gratis. Saat aku hendak kembali ke kamar dengan membawa tas, aku berpapasan dengan manager itu. Saat manager itu berbicara dengan Papa tadi, aku tak menghiraukannya. Namun saat aku melihat wajahnya, kini aku terhenyak.
“Gezia?”
“Rama?” kataku tak percaya.
“Apa kabarnya kamu? Sudah lama kita tak bertemu…” Suara lembut itu datang lagi menyapa telingaku.
“Aku baik-baik saja. Kamu kerja disini sekarang?”
“Iya, aku menjadi manager hotel ini Gez…”
“Wah, hebat hebat… tak sia-sia kamu jago bahasa Jepang sejak SMA.”
v
Saat aku hendak pulang ke Indonesia, Rama menemui Mama, Papa dan Gian di lobi. Mereka banyak bercakap-cakap mengenai banyak hal. Dan pada saat itu, Rama meminta izin pada keluargaku untuk melamarku. Lagi-lagi aku tak menyangka hal ini terjadi. Aku kira Rama telah melupakanku, ternyata tidak. Dia akhirnya mengambil sesuatu dari saku jasnya, dan ternyata… cincin. Aku menghela nafas panjang, dan kata “Iya” di hari itu menjadi awal dari kehidupanku bersama Rama. Air mata itu jatuh, tak hanya di mataku, tapi di mata Mama, Papa, dan Gian. Tak ku sangka akhirnya aku menemukan labuhan hatiku yang kutunggu dan yang dulu pernah menjadi cinta pertamaku. Dan ternyata kini, ia menjadi cinta terakhirku.
0 comments:
Posting Komentar