Mencintai bumi, sama halnya memberi hati untuk
mencintai diri sendiri. Di era globalisasi yang semakin menjamur dengan adanya
teknologi informasi serta modernitas yang tinggi, segalanya kini dituntut serba
cepat, praktis, dan tak jarang kita melupakan proses akarnya yang berasal dari
tanah yang setiap saat kita injak ini. Hari ini, bahkan detik ini, banyak
kampanye dan gerakan yang mengedepankan embel-embel ‘cinta lingkungan’ hanya
sebagai ajang eksis di media sosial. Namun ketika banjir dan longsor menghadang
rumah sendiri, mengapa masih menyalahkan pihak lain? Sebenarnya, siapa yang
bertanggung jawab atas bencana alam yang seakan-akan tak henti menghantui bumi
pertiwi ini?
Jawaban
yang paling sederhana dan menohok adalah; kita. Kita adalah manusia yang
bertanggung jawa atas alam yang selama ini kita perlakukan tak seimbang. Mineralnya
kita ambil, tapi kita lupa menanamnya kembali, kita terbuai dengan limpahan
sumber daya alam dan berbagai sumber mineral yang tersebar di bumi ini. Begitu
miris, bukan? Maka dari itu, kita lah
yang menjadi agen utama untuk menjaga bumi dari tangan-tangan penguasa yang
ingin memanfaatkan seluruh kekayaan bumi ini. Jawabannya, kita harus bertindak!
Dengan beberapa pengalaman saya sebelumnya,
menjadikan diri ini semakin bersemangat untuk mengabdi pada negeri untuk
kemaslahatan lingkungan bumi. Saya pernah mengikuti Jambore Kemah Konservasi
Alam di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat. Saya diberi kempatan
untuk menjadi tim jurnalis di samping menjadi peserta yang mengikuti seluruh
rangkaian kegiatan selama tiga hari camping
di gunung. Acara ini dilaksanakan dalam rangka memperingati hari Konservasi
Alam Nasional yang diselenggarakan Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan
Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung (PJLKKHL). Dalam memperingati Hari
Konservasi Nasional yang telah ditapkan pada tanggal 10 Agustus menjadi Hari
Konservasi Nasional dalam Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2009.
Foto: Penanaman pertama oleh Direktur PJLKKHL
(Dokumentasi pribadi)
|
Selain diberikan informasi mengenai konservasi,
peserta pun di ajak untuk menulis surat untuk alam. Di surat ini para peserta
harus menulis apa hobi mereka dan apa hubungan dari hobi itu dengan alam. Dan
ternyata semua hal yang kita lakukan ada hubungannya dengan alam, tidak ada
satpun kegiatan kita yang luput dari alam. Sangat luar biasa, bukan? Peserta juga
dikagetkan dengan kedatangan Jovita Dwijayanti, pemain film Danum Baputi yang
juga merupakan Runner Up Miss Indonesia
2013 yang juga seorang aktivis lingkungan. Jovita menjelaskan bahwa "Alam
selalu take care of us, but we don't take
care of them, tapi yang harusnya menjadikan kita malu, mereka itu selalu
ada. Jadi orang-orang yang belum sadar lingkungan itu take it for granted, so we have to wake them up. Kalau kita tidak
menjaga mereka akan punah, kita bakal tidak punya apa-apa dan kita juga akan
punah.
Pada hari kedua
di hari tracking, setelah menempuh
pendakian kurang lebih 4 jam, akhirnya kami sampai di Kawah Ratu. Bau khas
belerang menyengat memenuhi penciuman kami. Pemandangannya pun begitu indah,
asap putih mengepul ke udara di sela-sela pepohonan hutan yang hijau. Kawah Ratu
terlihat bersih dan terawat rapi, pengunjung yang datang pun tidak membuang
sampah sembarangan. Mereka memiliki kantung plastik masing-masing untuk tempat
sampah sementara hingga nanti pulang kembali ke bumi perkemahan. Namun seluruh
pengunjung dilarang turun ke bawah mendekati Kawah Ratu karena belerangnya
mengandung racun yang dapat menyebabkan kematian secara langsung.
Foto: Tim Jurnalis, saya, dan Momo Suparmo (tim jaga di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak) Dokumen pribadi. |
Ditemui
di kawasan Kawah Ratu, Momo Suparmo yakni salah seorang tim yang berjaga di
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak menjelaskan ekosistem Kawah Ratu
mencakup berbagai flora dan fauna yang beragam dan tidak dimiliki di tempat
lain, diantaranya berbagai jenis anggrek, Rasamala (Altingia excelsa), Puspa (Schima
wallichii), Begonia, Palahar (Dipterocarpus
hasseltii). Fauna Macan tutul Jawa (Panthera pardus), Owa Jawa (Hylobates
moloch), Elang Jawa (Spizaetus bartelsii), Surili, Lutung gunung, dll. Beliau
pun menambahkan “Semoga acara konservasi seperti ini sering dilakukan, dengan
begitu masyarakat akan tahu peran penting hutan untuk hidup kita. Penebangan
pohon itu kayunya hanya dimanfaatkan 8%, bayangkan 92 persen hilang begitu
saja. Kita harus menyadarkan bahwa di hutan tidak hanya terdapat kayu saja,
tetapi air dan oksigen pun yang membuat kita dapat hidup makmur hingga saat
ini. Saya harap masyarakat bisa mengerti bahwa hutan yang paling luas di Asia
Tenggara ini sudah mulai terancam keberadaannya.”
Dalam acara ini pun turut membebaskan Elang
Jawa (Spizaetus bartelsii) ke alam bebas setelah diberi perawatan oleh dokter
hewan dan tim ahli. Sungguh, dapat melihat langsung elang yang gagah terbang
dengan bebas di udara dan melihat kembali ke habitatnya, adalah salah satu hal
yang paling menakjubkan di hidup saya.
![]() |
Foto: Penanaman “Satu orang satu Mangrove” di Desa Blanakan, Subang. (Dokumen Pribadi) |
Selain di Gunung Salak, saya pun pernah menjadi
panitia acara Mangrovestasi regional Jawa Barat, tepatnya di Blanakan, Subang.
Mangrovestasi adalah acara yang bertujuan untuk ‘menghidupkan’ kembali
Mangrove, yang biasa kita kenal dengan tanaman Bakau yang banyak manfaatnya
namun sekarang tidak banyak diperdulikan. Di sana saya dan panitia lainnya
banyak mendapatkan pengalaman, terutama ketika terjun langsung ke
sekolah-sekolah untuk mengadakan workshop tentang tanaman bakau itu sendiri.
Tidak sedikit dari mereka pun baru mengetahui manfaat mangrove, padahal selama
ini mereka tinggal di daerah yang notabene tanah dan rawanya banyak ditumbuhi
mangrove. Serta pengalaman yang tak terlupakan ketika saya terjun langsung
bersama masyarakat dan siswa-siswi untuk menanam mangrove secara serentak di
rawa di daerah Blanakan tersebut.
![]() |
Proses pembuatan Plang Cinta Lingkungan di Lombok (Dokumen Pribadi) |
Tanggal 2-12 Februari 2018, saya juga mendapatkan
kesempatan luar biasa untuk dapat mengabdi di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Sepekan di Kecamatan Labuhan Pandan, Lombok Timur, menjadi pengalaman berharga
yang tidak dapat terlupakan. Selain bergiat di bidang pendidikan seperti
mendirikan taman baca untuk anak-anak serta mengajar siswa di beberaoa sekolah
pelosok, saya dan kawan-kawan di sana bergiat di bidang lingkungan dengan
program plang kebersihan lingkungan serta penanaman mangrove di Pulau Gili Kapal.
![]() |
Plang Cinta Lingkungan sedang dalam perjalanan menuju penanaman Mangrove di Gili, Lombok Timur. (Dokumen Pribadi) |
Di sana, kami banyak belajar bahwa alam kita
benar-benar butuh kasih sayang. Kita harus peduli sekecil apapun dengan bumi
yang menjadi tempat bernaung kita. Meski terkadang banyak pihak yang ingin
untung sendiri, namun hal tersebut tidak boleh menjadikan semangat kita surut
untuk tetap peduli terhadap lingkungan. Apapun yang terjadi, kita lah yang
tetap menjadi garda terdepan untuk bumi yang lestari.
Dari
beberapa kegiatan ini, banyak pengalaman dan pelajaran yang dapat kita petik.
Kerja sama dan kekompakan serta tidak mementingkan egoisme diri sendiri menjadi
hal terpenting dalam setiap langkah kita. Serta menjaga dan tidak merusak
ekosistem alam untuk kehidupan sesama makhluk ciptaan-Nya. Karena semua orang
dapat melakukan konservasi, dimulai dari hal-hal kecil yang dapat kita lakukan
oleh diri sendiri untuk kehidupan kita yang lebih baik. Salam lestari!