Udara terasa lebih dingin dari biasanya ketika saya memutuskan
segalanya kala itu. Saya yang memutuskan untuk mengakhiri segalanya ketika
semuanya (terbilang) baik-baik saja. Tak ada yang salah, tak ada kesalahan, tak
ada pula yang menyalahkan. Namun saya yang memutuskan.
Entah mengapa, namun saya merasa bahwa ini adalah satu-satunya jalan
keluar yang harus diambil ketika ada keharusan yang memantik diri saya untuk
menghentikan proses ini. Proses mencintai dengan segala kerumitan di dalamnya.
Proses (saling) memahami agar tak sepaham hanya dari satu pihak. Proses
(saling) menjaga agar satu sama lainnya tak terluka. Proses (saling) mengerti
agar semuanya terkendali. Proses... yang begitu banyak. Intinya, proses untuk
(saling) mencintai yang tidak hanya untuk satu atau dua hari, namun
diperuntukkan beribu bahkan berjuta hari.
Namun sejak awal, saya sudah menolak kehadiran cinta yang datang
secara tidak diduga dan memaksa saya untuk tetap berada di zona pink ini. Zona
yang rawan akan kebahagiaan yang bersamaan dengan luka. Saya enggan mengikuti
alurnya. Namun dengan seiringnya waktu, melunaknya hati saya menjadi
satu-satunya alasan untuk menerimanya di kehidupan cinta saya yang ia belum
tahu, bahkan hal terkecil pun bisa menjadi luka jika ia tetap ingin bertahan.
![]() |
His last bucket for me. |
Dan,
hal itu terjadi lagi kepada saya. Saya meninggalkannya. Meninggalkan lelaki
yang siap meluangkan waktunya untuk saya, mengerahkan segala kemampuannya,
terjaga di malam ketika saya tidak bisa terlelap, membatalkan reuni dan buka
puasa bersama sahabat-sahabatnya demi saya—yang katanya lebih dahulu dijanjikan
olehnya, menyimpan makanan atau minuman di pagar rumah ketika saya merasa lapar
dan enggan untuk keluar rumah, yang mendengarkan ocehan saya ketika masa kritis
saya datang di manapun, yang membidangkan dadanya untuk disandari ketika saya
mengantuk di suatu pertokoan di mall besar, yang begitu peduli dengan anti
gores handphone saya meski saya pun tak pernah memikirkannya lalu ia menyulap
handphone saya menjadi seperti baru kembali, yang berusaha menguatkan ketika
saya hampir tak memiliki daya bersemangat kembali, yang merayakan ulang tahun
saya dengan segala yang saya sukai tanpa cela, yang selalu diam jika cemburu
melihat saya jalan dengan lelaki lain, yang selalu mencoba mengobati
‘kerungsingan’ saya dengan berbagai macam caranya yang selalu berhasil membawa
tawa saya kembali hadir, yang berusaha penuh untuk menggosok baju saya yang
celemotan terkena cat putih di pom bensin, yang mengabulkan kamera favorit saya
untuk mengabulkan selfie bersama, yang selalu menjaga saya dan memastikan bahwa
saya tidak terluka, meski saya yang kerap kali mengacuhkannya. Jika saya harus
menuliskan semuanya, tidak cukup selembar saja, dan tak perlu kau tanya lagi
bahwa semua itu membawa bahagia. Namun yang terakhir ia lakukan sebelum
bertolak ke tempat pengabdiannya, ia diam-diam menyimpan bucket bunga mawar
merah di pagar rumah saya. Dan itu membuat saya menghela nafas berkali-kali,
mengapa masih repot-repot mencoba untuk membahagiakan saya meski ia tahu saya
tak lagi membalas pesannya?
Ya,
dan saya meninggalkannya. Dengan sadar? Tentu. Saya sadar sepenuhnya bahwa saya
meninggalkannya dan memutuskan untuk mengakhiri segala sesuatunya, meski
dirinya tetap berkutat pada pendiriannya yang akan tetap menunggu saya hingga
kapanpun. Saya tidak tahu apakah ia benar-benar dengan perkatannya, ataukah
hanya main-main belaka karena arus semangat anak muda yang masih membara, saya
tidak tahu. Yang saya tahu, menjadi lelaki seperti dirinya tidaklah mudah.
Menghadapi saya dengan kondisi yang tak menentu dengan kadar kesabaran yang
dibutuhkan seorang profesional. Saya sangat menyadari itu. Entah mengapa,
terkadang saya hanya ingin menguji seseorang dengan perlakuan saya yang terkadang
kekanak-kanakan, manja, tidak ingin diatur, dan hal lainnya yang membuat ilfeel terhadap
saya. Hal itu cukup berhasil saya terapkan kepada mereka, para lelaki yang
mendekati saya. Setelahnya, ada yang bertahan dan ada juga yang meninggalkan.
Namun, setelah semua yang saya lakukan itu membuat saya bingung
dengan keinginan saya sendiri, ia memilih untuk bertahan. Ia bertahan di atas
pertengkaran dan perdebatan cukup rutin yang terkadang berujung pada
keberpihakan terhadap diri saya. Dan dengan nyata, ia melakukannya untuk tetap
bertahan menghadapi saya.
Ia
selalu berkata, bahwa saya adalah kebahagiannya. Saya adalah alasannya untuk
banyak perubahan yang menyenangkan dalam dirinya, dan saya adalah
alasan-alasannya yang terkadang tidak dapat diterima oleh akal. Saya terkadang
hanya tertawa mendengarnya, namun saya tahu, itu cinta. Hubungan kami tanpa
ikatan, namun bahagia yang mengalir dalam darah kami bukanlah kepalsuan semata.
Orang-orang, atau teman-teman saya menyebutnya goal relationship, atau
ketika ia melakukan hal yang sweet kepada saya yang biasa
dilakukan oleh seorang yang berpasangan, kami menyebutnya itu adalah hal yang “Laaah,
itu sih sering kamu bilang atau lakuin atau kita kerjain bareng kali”, dan
kami kerapkali hanya tertawa. Dan ketika saya bertanya pada dia “Kamu
sayang sama aku? Kenapa?” ia pun menjawabnya dengan sungguh. Namun
ketika ia bertanya hal yang serupa kepada saya, saya tidak pernah menjawabnya.
Jawabannya adalah saya yang pura-pura tidak mengerti, atau mengalihkan pada hal-hal
yang membuat kami berdua tertawa, lalu hanya ada bahagia setelahnya meski tetap
tanpa jawaban apa-apa dari saya. Saya membiarkan cinta hadir selama ini, namun
saya juga kini tak lupa untuk menguncinya kembali. Saya rasa sudah cukup, saya
tidak mau membuka luka semakin menganga yang setiap harinya seperti ditetesi
cuka: pedih, namun tak ingin segera berakhir. Maka meski kembali menuai luka,
saya dengan tegas menutupnya. Agar tak ada lagi luka yang lebih perih di
kemudian hari.
“Saya gak menutup diri, saya sadar diri. Iya, dunia itu memang luas tapi kamu cuma satu. Saya harus keliling dunia cari seseorang yang kayak kamu? Sudah saya bilang,