Aku terdiam sesaat setelah bangunku di gelap subuh. Ku
bukakan mataku perlahan, sejenak ku menarik nafas panjang untuk merelaksasikan
keadaan. Keadaan yang tak kunjung membaik sejak tadi malam. Mungkin tidak untuk
yang lain, tapi bagiku begitu ‘iya’.
Aku berkunjung ke kediaman tanteku di suatu daerah jauh dari
perkotaan. Jauh dari tempatku kembali setiap tahunnya, jauh dari riuh kota
besar, jauh dari Kota Yogyakarta tempatku berpulang untuk merayakan hari raya
setiap tahunnya. Di sebuah desa yang asri aku berdiri kini. Langkah kakiku tak
tentu ketika mataku terbuka dan terbangunkan oleh suara ribut para keponakanku
yang berkumpul ramai—berlebaran bersama. Ini sudah lewat beberapa hari setelah
hari raya tiba, namun rasanya kami terus merasakan hal yang sama karena
keakraban yang kami ciptakan disini.
Disini, berbeda. Jauh berbeda dengan apa yang biasa ku dapatkan
di kota Yogya-panas. Di desa yang lumayan jauh ini ku dapati ketenangan yang
nyata. Ku rasakan semilir angin yang begitu sejuk memasuki sela-sela jendela
rumah. Sawah yang terhampar luas mencuci mataku setelah sekian lama tak kulihat
pemandangan hijau yang indah itu. Ku langkahkan kakiku perlahan, ku ambil
secarik kertas dan bolpoin di ruang tengah. Ya, waktunya. Di beranda rumah, dengan
angin dan udara sejuk menemaniku. Serta handphone dan earphone yang tak lepas
dari genggamanku.
Ku tuliskan beberapa yang tak mampu ku ucapkan, ku tuliskan
hal yang tak semestinya ku rasakan. Ku duduk di teras rumah dan menyandarkan
tubuhku pada sebuah sofa berwarna hijau berhias semu merah bunga mawar.
Setidaknya aku bisa lebih tenang dibandingkan tadi malam. Di waktu yang tak
tepat, di tempat yang tak tepat pula aku merasakan ‘lagi’ sesuatu merasuki
diriku yang membuatku seperti kehilangan tulang dan rusukku. Hal itu. Hal itu! Datang
tak diharapkan kehadirannya sama sekali olehku. Rasa pedih dan tersiksa luar
biasa yang ku rasakan ketika Dia memberikan sesuatu yang tak semua orang
rasakan.
Aku. Tak mampu melawan namun tak ingin menyerah.
Ini bukan suatu cobaan, bukan pula siksaan. Namun suatu
anugerah yang semestinya harus lebih ku syukuri. Mungkin aku terlalu bodoh
untuk menerjemahkan dan mengartikan kisah yang selama ini tak ku mengerti.
Namun sungguh aku benar-benar tak mengerti, Tuhan. Mengapa terjadi padaku?
Mengapa harus aku? Mungkinkah aku dapat bertahan dalam keadaan-seperti-ini yang
selalu membuatku meragu?
Uh… Rasanya dada ini begitu sesak ketika Kau memberikannya
lagi dan lagi. Namun kenyataan yang tunjukkan bahwa memang aku harus berdiri
sendiri, tanpa sepengetahuan mereka. Aku tak ingin berkata, Tuhan. Biarkan aku
yang rasakan bersama segalanya yang memang harus ku jalani. Namun tanpa mereka
sadari, mereka telah menguatkanku untuk tetap percaya pada apa yang telah Kau
gariskan. Izinkan aku sembunyikan ini pada mereka yang ku cintai, aku tak kuasa
jika harus mereka juga yang Kau ‘beritahu’. Mungkin bukan untuk ku sembunyikan,
namun untuk ku hapuskan dari hidup mereka.
Biarkan hanya aku dan seutuhnya diriku yang tahu. BersamaMu.
Desa Banguntapan,
Yogyakarta, 120823.