Kamis, 23 Agustus 2012

Hempasan Angin Desa

Posted by Amirush Shaffa Fauzia at 22.03 0 comments

Aku terdiam sesaat setelah bangunku di gelap subuh. Ku bukakan mataku perlahan, sejenak ku menarik nafas panjang untuk merelaksasikan keadaan. Keadaan yang tak kunjung membaik sejak tadi malam. Mungkin tidak untuk yang lain, tapi bagiku begitu ‘iya’.

Aku berkunjung ke kediaman tanteku di suatu daerah jauh dari perkotaan. Jauh dari tempatku kembali setiap tahunnya, jauh dari riuh kota besar, jauh dari Kota Yogyakarta tempatku berpulang untuk merayakan hari raya setiap tahunnya. Di sebuah desa yang asri aku berdiri kini. Langkah kakiku tak tentu ketika mataku terbuka dan terbangunkan oleh suara ribut para keponakanku yang berkumpul ramai—berlebaran bersama. Ini sudah lewat beberapa hari setelah hari raya tiba, namun rasanya kami terus merasakan hal yang sama karena keakraban yang kami ciptakan disini.

Disini, berbeda. Jauh berbeda dengan apa yang biasa ku dapatkan di kota Yogya-panas. Di desa yang lumayan jauh ini ku dapati ketenangan yang nyata. Ku rasakan semilir angin yang begitu sejuk memasuki sela-sela jendela rumah. Sawah yang terhampar luas mencuci mataku setelah sekian lama tak kulihat pemandangan hijau yang indah itu. Ku langkahkan kakiku perlahan, ku ambil secarik kertas dan bolpoin di ruang tengah. Ya, waktunya. Di beranda rumah, dengan angin dan udara sejuk menemaniku. Serta handphone dan earphone yang tak lepas dari genggamanku.

Ku tuliskan beberapa yang tak mampu ku ucapkan, ku tuliskan hal yang tak semestinya ku rasakan. Ku duduk di teras rumah dan menyandarkan tubuhku pada sebuah sofa berwarna hijau berhias semu merah bunga mawar. Setidaknya aku bisa lebih tenang dibandingkan tadi malam. Di waktu yang tak tepat, di tempat yang tak tepat pula aku merasakan ‘lagi’ sesuatu merasuki diriku yang membuatku seperti kehilangan tulang dan rusukku. Hal itu. Hal itu! Datang tak diharapkan kehadirannya sama sekali olehku. Rasa pedih dan tersiksa luar biasa yang ku rasakan ketika Dia memberikan sesuatu yang tak semua orang rasakan.

Aku. Tak mampu melawan namun tak ingin menyerah.

Ini bukan suatu cobaan, bukan pula siksaan. Namun suatu anugerah yang semestinya harus lebih ku syukuri. Mungkin aku terlalu bodoh untuk menerjemahkan dan mengartikan kisah yang selama ini tak ku mengerti. Namun sungguh aku benar-benar tak mengerti, Tuhan. Mengapa terjadi padaku? Mengapa harus aku? Mungkinkah aku dapat bertahan dalam keadaan-seperti-ini yang selalu membuatku meragu?

Uh… Rasanya dada ini begitu sesak ketika Kau memberikannya lagi dan lagi. Namun kenyataan yang tunjukkan bahwa memang aku harus berdiri sendiri, tanpa sepengetahuan mereka. Aku tak ingin berkata, Tuhan. Biarkan aku yang rasakan bersama segalanya yang memang harus ku jalani. Namun tanpa mereka sadari, mereka telah menguatkanku untuk tetap percaya pada apa yang telah Kau gariskan. Izinkan aku sembunyikan ini pada mereka yang ku cintai, aku tak kuasa jika harus mereka juga yang Kau ‘beritahu’. Mungkin bukan untuk ku sembunyikan, namun untuk ku hapuskan dari hidup mereka. 

Biarkan hanya aku dan seutuhnya diriku yang tahu. BersamaMu.

Desa Banguntapan,
Yogyakarta, 120823.

 

Amirush Shaffa Fauzia Copyright © 2012 Design by Sandi Hidayat