Maafkan aku tak bisa memahami maksud
amarahmu
Membaca dan mengerti isi hatimu
Ampuni aku yang telah memasuki kehidupan
kalian
Mencoba mencari celah dalam hatimu
Lagu merdu terdengar di handphone
milikku ketika aku menghubunginya. Nada sambung pribadi itu tak berhenti
bernyanyi. Angkatlah! Beberapa kali kucoba hubungi dirinya tetapi tetap saja
lagu itu yang menjawabnya dan kemudian seorang perempuan mengangkat telponku
dan berkata dengan halus “Maaf nomor yang anda hubungi sedang sibuk, silakan
coba beberapa saat lagi.” Kesal, aku sangat kesal padanya.
Helenaaaaa! Harus berapa kali aku katakan
dalam hatiku padamu bahwa aku mencintaimu daripada kekasihmu yang tak pernah
memperdulikanmu itu. Mengapa kau selalu berpihak padanya? Mengapa kau selalu
memilih dia? Mengapa kau selalu mengalah untuknya? Mengapa mengapa dan mengapa
yang selalu ku tanyakan padamu. Aku tak habis fikir mengapa dia melakukan semua
itu hanya untuk lelaki yang tak pernah mencintainya.
Helena adalah seorang gadis incaranku
sejak aku masih SMP. Awalnya aku hanya melihatnya sekilas di pesta topeng
sekolah. Namun lama-kelamaan aku ingin mencari tahu lebih jauh tentangnya dan
sedikit demi sedikit aku berusaha untuk mencari tahu semua tentangnya. Nama
lengkapnya Helena Arun Dwiki, dia pindahan dari sekolah di daerah lain. Dia
pindah karena pekerjaan orang tuanya dan kini menetap di daerahku. Semenjak SMA
kami berpisah dan hanya sekedar itu saja informasi yang aku tahu tentangnya.
Ketika aku kuliah dan berharap Helena pun berkuliah di universitas yang sama,
namun ternyata tidak. Sepertinya aku harus memendam jauh-jauh rasa yang
kusimpan sejak 5 tahun yang lalu pada gadis cantik keturunan Gorontalo itu.
Aku berkuliah di jurusan arsitektur
di suatu universitas negeri terkenal. Arsitek memang menjadi cita-citaku sejak
kecil. Dan cita-citaku selanjutnya adalah bisa meminang gadis pujaan hatiku
ketika aku sudah menjadi arsitek ternama. Ya, tidak lain dan tidak bukan dialah
Helena. Namun sulit sekali untuk mencari tahu dimana dia berada kini. Sampai
saat ini pun aku belum pernah berkenalan dengannya. Bodoh sekali aku! Mengapa
aku tak pernah mengejarnya dan hanya menikmati mimpi indahku jika aku dapat
memilikinya? Dan kini aku bertanya, apakah aku ini benar lelaki? Untuk berkenalan
saja tak mampu. Payah!
Aku tahu ku takkan bisa menjadi seperti yang engkau minta
Namun selama nafas berhembus
Aku akan mencoba menjadi seperti yang kau minta
Dalam
suatu acara pensi SMA, sebagai alumni aku pasti datang walaupun hanya untuk
menonton dan meramaikan saja. Aku datang sendiri, karena aku tak mempunyai
pacar. Meskipun aku sudah mulai melupakan Helena, tapi aku belum berkenan untuk
mencari pasangan. Suasana pensi sangat penuh karena bintang tamu yang mengisi
acara adalah artis dan band-band papan atas. Namun aku tak begitu tertarik, aku
lebih memilih duduk di koridor dan menikmati minuman dingin yang ku beli tadi
di suatu stand makanan. Saat aku terdiam tiba-tiba mataku tertuju pada
perempuan cantik berambut panjang dan bermata bulat yang sedang berjalan di
hadapanku. Aku tak memperdulikan lelaki di sampingnya yang tentunya memegang
tangannya dengan erat. Dalam batinku aku bertekad, aku takkan mengulang
kebodohanku yang terjadi pada Helena. Aku harus berkenalan dengannya. Harus.
Perempuan
itu tak lepas dari pandangan mataku. Kemanapun dia pergi aku selalu
mengikutinya. Sampai pada waktunya, saat hari mulai gelap dan malam menjelang,
sepertinya kulihat kekasih perempuan itu akan tampil mengisi pensi. Tentunya
kesempatan besar untukku mendekatinya karena dia akan sendiri dan lepas dari
genggaman tangan lelaki itu. Saat kesempatan itu tiba, aku sengaja mendekati
perempuan itu. Namun tiba-tiba handphone miliknya terjatuh. Hhh, sepertinya
Tuhan memang tahu niatku untuk mendekatinya. Kesempatan datang pada saat yang
tepat. Langsung saja ku ambil handphonenya dan kuberikan pada perempuan itu.
Dia cantik, cantik, begitu cantik.
“Terimakasih
ya…”
“I…iya…iya
sama-sama.” Jawabku dengan gemetar dan bingung di hadapannya. Aku tak tahu
harus bicara apa, padahal dia ada di depanku. Persis di depanku. Aku hanya
terpaku dan terdiam. Kepalaku tertunduk dan mataku menuju name tag yang dipakai
perempuan itu. Aku mencoba mengeja tulisan yang ada di hadapanku dalam keadaan
tak jelas karena hari sudah malam dan suasanya agak gelap. Ku eja tulisannya
dan tulisan itu… Perempuan itu langsung pergi tanpa pamit padaku. Dia langsung
berlari ketika musik dimulai. Namun dengan refleks aku berteriak
sekencang-kencangnya.
“HELENA!!!!”
Perempuan
itu menghentikan langkahnya, dan ternyata